Balasan Tanpa Menyentuh (Part 24)
Saat aku sadar, sudah terbaring di tanah, tubuh terasa lemas, dan kemudian dibantu duduk oleh seseorang.
"Kamu baik-baik saja?" Tanyanya.
"Sanja, benar itu kamu." Tanyaku ragu sambil memegang wajahnya.
"Iya, dan kita terlalu sering bertemu." Jawab Sanja.
"Aku senang, itu kamu. Apa yang terjadi?" Tanyaku lagi.
"Kamu terkena ilmu hitam gendam saat menghampiri kami di lobi hotel. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena dia juga mengancam dengan pisau." Jelas Sanja.
Kejadian setelah aku menghampiri mereka bertiga ternyata tidak pernah ada.
"Kenapa kau bisa menyelamatkanku. Di tempat sepi ini?" Tanyaku.
"Dia bermaksud mencelakaimu di sini, karena aku mengikutinya." Jawab Sanja lagi-lagi mencoba mengalihkanku dari kemampuan mistisnya.
"Kamu bisa pergi bersama Yena dan membiarkanku." Jawabku setelah melihat Yena mendekatiku.
"Kamu telah hadir dalam hidupku, jadi kamu bagian dari hidupku juga."
Balas Sanja meski sulit dimengerti. Tapi itu mungkin ungkapan bahwa aku penting baginya.
"Di mana pria itu?" Tanyaku.
"Dia di belakangmu." Jawab Sanja.
Aku langsung menoleh ke belakang, "Dia pingsan?" Tanyaku melihat si pria tergeletak di tanah.
"Dia sudah meninggal." Ucap Yena.
"Kamu membunuhnya, Sanja?" Tanyaku.
"Aku tidak menyentuhnya." Jawab Sanja.
"Itukan keahlianmu, membunuh tanpa menyentuh." Ucapku.
"Jangan menuduh Sanja yang tidak-tidak. Pria itu memegang jantungnya sebelum tiada. Kemungkinan gagal jantung." Sambung Yena.
Kenapa aku seperti ini? Seharusnya aku berpikiran positif kepada pacarku. Justru orang lain yang melakukannya.
"Maaf. Aku harus segera pergi. Ayahku mungkin mengkhawatirkanku." Ucapku.
"Aku akan mengantarmu. Tubuhmu masih lemas." Balas Sanja sambil membantuku berdiri.
"Biar aku yang ngurus mayat pria itu." Sambung Yena.
Aku masih bisa berjalan sendiri meski pelan dan Sanja berjalan di samping untuk mejagaku jika terjatuh karena lemas. Dalam perjalanan kami bicara.
"Ibu Aya ingin putrinya berkepribadian polos seperti kemaren." Ucapku menyampaikan pesan.
"Itu bukan Aya." Balas Sanja.
"Maksudmu?" Tanyaku memastikan.
"Mungkin ada yang memasuki tubuh Aya ketika dia mengambil papan nisan angker itu." Lanjut Sanja.
"Sok tahu kamu?" Balasku.
"Kamu aja boleh menduga-duga, masa aku enggak." Jawab Sanja.
Tiba di depan restoran, ayah berdiri di depan kami.
"Kenapa lama?" Tanya ayah.
"Tadi Lina pingsan om." Jawab Sanja.
"Mungkin saya kurang darah, ayah." Sambungku.
Aku mendekati ayah. Saat itu aku teringat sahabatku Aya, ibunya akan menghilangkan dirinya. Aku khawatir. Aku segera berpaling ke belakang. Wajahku terlalu dekat dengan Sanja. Apa dia masih menjagaku? Meskipun sekilas aku baru sadar mata Sanja memiliki warna yang berbeda. Mata kanannya berwarna hitam pekat seperti burung gagak dan mata kirinya berwarna coklat seperti orang Indonesia pada umumnya. Sanja langsung menjaga jarak dariku.
"Ada apa Lina?" Tanya Sanja dan sepertinya dia gugup.
"Kamu akan pikirkan caranya untuk menolong Aya." Balasku.
"Iya tentu." Jawabnya.
Aku dan ayah lalu pergi dengan mobil meninggalkan Sanja.
Malam itu aku terlalu lelah hingga tidur lebih cepat. Paginya aku segar kembali dan semangat sekolah karena besok libur. Aku telpon Sintia tidak aktif. Aku berpikir untuk minta Sanja ngantarku. Aku menelponnya.
"Kamu ada di mana?" Tanyaku.
"Berduaan dengan Sintia di rumahnya." Jawab Sanja.
"Kejam." Tidak ada kata-kata lain selain itu untuknya. Hatiku seakan langsung tersambar petir. Aku langsung menutup telponnya.
Tiba-tiba Sintia yang menelponku, bukannya Sanja, jadi aku abaikan. Sintia terus-terusan menelpon, aku singkirkan egoku dan siap sakit hati untuk mendengar ucapan Sintia dengan mengangkat telponnya.
"Adikku hilang, aku minta bantuan Sanja."Ucap Sintia langsung.
Membuat api emosiku langsung padam. Kata-kata Sanja benar-benar jahat. Semenjak teman hantunya tidak ada, dia kesulitan membuat kata-kata yang tidak membuat hatiku sakit.
Kemudian aku minta ayah mengantarkanku ke sekolah. Sebelumnya aku mampir ke rumah Sintia dulu. Tiba di sana, aku masuk ke pagar rumah Sintia yang tidak terkunci. Mendekati pintu rumah lalu disambut ibunya dan diantar ke ruang keluarga. Terlihat Sintia duduk berhadapan dengan Sanja. Saat ibu Sintia pergi, aku mendekati mereka berdua. Aku kaget sekaligus cemas melihat Sintia mengarahkan tangan kanannya ke mata kanan Sanja. Aku semakin gemetar melihat mata kanan Sanja mengeluarkan darah.
"Apa yang kamu lakukan Sintia?" Ucapku sambil menahan tangan kanan Sintia.
(Bersambung)
"Kamu baik-baik saja?" Tanyanya.
"Sanja, benar itu kamu." Tanyaku ragu sambil memegang wajahnya.
"Iya, dan kita terlalu sering bertemu." Jawab Sanja.
"Aku senang, itu kamu. Apa yang terjadi?" Tanyaku lagi.
"Kamu terkena ilmu hitam gendam saat menghampiri kami di lobi hotel. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena dia juga mengancam dengan pisau." Jelas Sanja.
Kejadian setelah aku menghampiri mereka bertiga ternyata tidak pernah ada.
"Kenapa kau bisa menyelamatkanku. Di tempat sepi ini?" Tanyaku.
"Dia bermaksud mencelakaimu di sini, karena aku mengikutinya." Jawab Sanja lagi-lagi mencoba mengalihkanku dari kemampuan mistisnya.
"Kamu bisa pergi bersama Yena dan membiarkanku." Jawabku setelah melihat Yena mendekatiku.
"Kamu telah hadir dalam hidupku, jadi kamu bagian dari hidupku juga."
Balas Sanja meski sulit dimengerti. Tapi itu mungkin ungkapan bahwa aku penting baginya.
"Di mana pria itu?" Tanyaku.
"Dia di belakangmu." Jawab Sanja.
Aku langsung menoleh ke belakang, "Dia pingsan?" Tanyaku melihat si pria tergeletak di tanah.
"Dia sudah meninggal." Ucap Yena.
"Kamu membunuhnya, Sanja?" Tanyaku.
"Aku tidak menyentuhnya." Jawab Sanja.
"Itukan keahlianmu, membunuh tanpa menyentuh." Ucapku.
"Jangan menuduh Sanja yang tidak-tidak. Pria itu memegang jantungnya sebelum tiada. Kemungkinan gagal jantung." Sambung Yena.
Kenapa aku seperti ini? Seharusnya aku berpikiran positif kepada pacarku. Justru orang lain yang melakukannya.
"Maaf. Aku harus segera pergi. Ayahku mungkin mengkhawatirkanku." Ucapku.
"Aku akan mengantarmu. Tubuhmu masih lemas." Balas Sanja sambil membantuku berdiri.
"Biar aku yang ngurus mayat pria itu." Sambung Yena.
Aku masih bisa berjalan sendiri meski pelan dan Sanja berjalan di samping untuk mejagaku jika terjatuh karena lemas. Dalam perjalanan kami bicara.
"Ibu Aya ingin putrinya berkepribadian polos seperti kemaren." Ucapku menyampaikan pesan.
"Itu bukan Aya." Balas Sanja.
"Maksudmu?" Tanyaku memastikan.
"Mungkin ada yang memasuki tubuh Aya ketika dia mengambil papan nisan angker itu." Lanjut Sanja.
"Sok tahu kamu?" Balasku.
"Kamu aja boleh menduga-duga, masa aku enggak." Jawab Sanja.
Tiba di depan restoran, ayah berdiri di depan kami.
"Kenapa lama?" Tanya ayah.
"Tadi Lina pingsan om." Jawab Sanja.
"Mungkin saya kurang darah, ayah." Sambungku.
Aku mendekati ayah. Saat itu aku teringat sahabatku Aya, ibunya akan menghilangkan dirinya. Aku khawatir. Aku segera berpaling ke belakang. Wajahku terlalu dekat dengan Sanja. Apa dia masih menjagaku? Meskipun sekilas aku baru sadar mata Sanja memiliki warna yang berbeda. Mata kanannya berwarna hitam pekat seperti burung gagak dan mata kirinya berwarna coklat seperti orang Indonesia pada umumnya. Sanja langsung menjaga jarak dariku.
"Ada apa Lina?" Tanya Sanja dan sepertinya dia gugup.
"Kamu akan pikirkan caranya untuk menolong Aya." Balasku.
"Iya tentu." Jawabnya.
Aku dan ayah lalu pergi dengan mobil meninggalkan Sanja.
Malam itu aku terlalu lelah hingga tidur lebih cepat. Paginya aku segar kembali dan semangat sekolah karena besok libur. Aku telpon Sintia tidak aktif. Aku berpikir untuk minta Sanja ngantarku. Aku menelponnya.
"Kamu ada di mana?" Tanyaku.
"Berduaan dengan Sintia di rumahnya." Jawab Sanja.
"Kejam." Tidak ada kata-kata lain selain itu untuknya. Hatiku seakan langsung tersambar petir. Aku langsung menutup telponnya.
Tiba-tiba Sintia yang menelponku, bukannya Sanja, jadi aku abaikan. Sintia terus-terusan menelpon, aku singkirkan egoku dan siap sakit hati untuk mendengar ucapan Sintia dengan mengangkat telponnya.
"Adikku hilang, aku minta bantuan Sanja."Ucap Sintia langsung.
Membuat api emosiku langsung padam. Kata-kata Sanja benar-benar jahat. Semenjak teman hantunya tidak ada, dia kesulitan membuat kata-kata yang tidak membuat hatiku sakit.
Kemudian aku minta ayah mengantarkanku ke sekolah. Sebelumnya aku mampir ke rumah Sintia dulu. Tiba di sana, aku masuk ke pagar rumah Sintia yang tidak terkunci. Mendekati pintu rumah lalu disambut ibunya dan diantar ke ruang keluarga. Terlihat Sintia duduk berhadapan dengan Sanja. Saat ibu Sintia pergi, aku mendekati mereka berdua. Aku kaget sekaligus cemas melihat Sintia mengarahkan tangan kanannya ke mata kanan Sanja. Aku semakin gemetar melihat mata kanan Sanja mengeluarkan darah.
"Apa yang kamu lakukan Sintia?" Ucapku sambil menahan tangan kanan Sintia.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar