Berakhir Dipelukan Dengan Tangisan (Part 13)
Sosok berwajah tidak jelas itu berdiri di dekat motor. Dia sepertinya tiba-tiba menghalangi jalan sehingga Ayah harus menghentikan laju mobil. Sungguh aneh. Tadi Ayah melihat ke arahku sambil menyetir. Tapi dia juga bisa menyadari pengendara yang memotong jalan mobilnya.
Saat pengendara itu melepas helmnya. Membuat wajahnya terlihat jelas. Sosok itu Fian. Segeraku keluar untuk memarahi dia yang hampir mati konyol. Tapi saat aku keluar, Fian menarik Ayah keluar mobil, lalu menggenggam kerah baju dan mencoba memukul wajah Ayah. Aku langsung berlari dan memeluk Ayah sambil memejamkan mata siap menerima pukulan Fian yang begitu cepat, sambil berteriak, "Jangan sakiti ayahku!"
Tapi, aku tidak merasakan apa-apa. Ketika aku menoleh ke belakang. Terlihat tangan kiri Ayah menahan kepalan tangan kanan Fian. Bukan aku yang melindungi Ayah, justru Ayah yang melindungiku.
Fian terlihat gemetar ketika menurunkan tangannya, lalu langsung berucap, "Maafkan aku Enli. Aku hampir menyakitimu. Ku pikir dia yang menyulikmu."
Sepertinya Fian tahu dari Indri, aku diculik. Dia terlihat heran, aku mencoba membuatnya percaya, "Jika kamu melihat foto Ayah dan Ibuku saat masuk ke rumahku. Seharusnya kamu percaya."
Ayah menatapku. Membuatku panik takut Ayah berpikir aku berduaan saja dengan Fian di rumah, jadi ku segera menjelaskannya, "Saat ke rumah, Fian bersama Indri. Ku harap Ayah tidak berpikaran aneh tentang kami."
Ayah kemudian tersenyum menandakan dia percaya aku, lalu berucap, "Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Sebaiknya kita segera menemuinya."
Aku dan Ayah segera masuk mobil, meninggalkan Fian.
Di dalam mobil aku baru sadar Ayah mengatakan tentang ibu, "Ibu baik-baik sajakan Ayah?"
Tanyaku cemas karena terakhir ku tahu kuburan ibu terbongkar, aku takut yang ku temui adalah mayat Ibu.
Ayah menjawab sambil tetap fokus menyetir, "Ibumu mengalami mati suri. Bahkan hampir tewas saat sadar di dalam kuburan. Beruntung Ayah sempat menyelamatkannya."
Seperti kebiasaan bagi Ayah yang selalu hadir untuk menyelamatkan ibu. Aku senang mendengarnya hingga meneteskan air mata.
Aku terkejut. Karena Ayah membawaku di rumah yang berbeda. Aku keluar dari mobil dan memandangi rumah yang terlihat seram. Apa Ayah kembali membeli rumah Angker? Kali ini aku berpikir bukan untuk disewakan. Aku khawatir ini akan menjadi tempat tinggal kami yang baru. Ayah lalu bicara, "Rumah kita yang lama. Tidak aman lagi. Rina mungkin tidak akan menyerah untuk membahagiakan anaknya dengan kebohongan. Ini akan menjadi tempat tinggal kita yang baru."
Kekhwatiranku akhirnya benar. Meski aku senang bebas dari ancaman ibu Rina. Tapi aku takut tinggal di rumah ini.
Ayah memegang pundakku dan menatapku, "Tidak perlu takut. Ayah akan selalu melindungimu." Ucapnya seakan tahu apa yang ku rasakan.
Entah kenapa rasa takutku seketika menghilang.
Ayah berjalan menuju pintu rumah sambil bicara, "Ayah pastikan rumah ini tidak seram seperti penampilannya!"
Membuatku senyum-senyum sendiri.
Saat di depan pintu. Pintu terbuka.
"Enli!!!" Ucap ibu sambil memelukku erat.
Tangisan ibu terdengar. Membuatku tidak kuasa menahan air mata.
"Maafkan aku, ibu. Selama ini selalu menyusahkanmu."
Ibu menatapku dengan wajah penuh air mata, "Ibu janji tidak akan lagi meninggalkanmu, saat kamu SAKIT."
Di belakang ibu, terlihat Ayah yang berdiri dan menatap kami, "Ayah juga janji tidak membiarkanmu TERSAKITI lagi."
(Selesai)
Saat pengendara itu melepas helmnya. Membuat wajahnya terlihat jelas. Sosok itu Fian. Segeraku keluar untuk memarahi dia yang hampir mati konyol. Tapi saat aku keluar, Fian menarik Ayah keluar mobil, lalu menggenggam kerah baju dan mencoba memukul wajah Ayah. Aku langsung berlari dan memeluk Ayah sambil memejamkan mata siap menerima pukulan Fian yang begitu cepat, sambil berteriak, "Jangan sakiti ayahku!"
Tapi, aku tidak merasakan apa-apa. Ketika aku menoleh ke belakang. Terlihat tangan kiri Ayah menahan kepalan tangan kanan Fian. Bukan aku yang melindungi Ayah, justru Ayah yang melindungiku.
Fian terlihat gemetar ketika menurunkan tangannya, lalu langsung berucap, "Maafkan aku Enli. Aku hampir menyakitimu. Ku pikir dia yang menyulikmu."
Sepertinya Fian tahu dari Indri, aku diculik. Dia terlihat heran, aku mencoba membuatnya percaya, "Jika kamu melihat foto Ayah dan Ibuku saat masuk ke rumahku. Seharusnya kamu percaya."
Ayah menatapku. Membuatku panik takut Ayah berpikir aku berduaan saja dengan Fian di rumah, jadi ku segera menjelaskannya, "Saat ke rumah, Fian bersama Indri. Ku harap Ayah tidak berpikaran aneh tentang kami."
Ayah kemudian tersenyum menandakan dia percaya aku, lalu berucap, "Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Sebaiknya kita segera menemuinya."
Aku dan Ayah segera masuk mobil, meninggalkan Fian.
Di dalam mobil aku baru sadar Ayah mengatakan tentang ibu, "Ibu baik-baik sajakan Ayah?"
Tanyaku cemas karena terakhir ku tahu kuburan ibu terbongkar, aku takut yang ku temui adalah mayat Ibu.
Ayah menjawab sambil tetap fokus menyetir, "Ibumu mengalami mati suri. Bahkan hampir tewas saat sadar di dalam kuburan. Beruntung Ayah sempat menyelamatkannya."
Seperti kebiasaan bagi Ayah yang selalu hadir untuk menyelamatkan ibu. Aku senang mendengarnya hingga meneteskan air mata.
Aku terkejut. Karena Ayah membawaku di rumah yang berbeda. Aku keluar dari mobil dan memandangi rumah yang terlihat seram. Apa Ayah kembali membeli rumah Angker? Kali ini aku berpikir bukan untuk disewakan. Aku khawatir ini akan menjadi tempat tinggal kami yang baru. Ayah lalu bicara, "Rumah kita yang lama. Tidak aman lagi. Rina mungkin tidak akan menyerah untuk membahagiakan anaknya dengan kebohongan. Ini akan menjadi tempat tinggal kita yang baru."
Kekhwatiranku akhirnya benar. Meski aku senang bebas dari ancaman ibu Rina. Tapi aku takut tinggal di rumah ini.
Ayah memegang pundakku dan menatapku, "Tidak perlu takut. Ayah akan selalu melindungimu." Ucapnya seakan tahu apa yang ku rasakan.
Entah kenapa rasa takutku seketika menghilang.
Ayah berjalan menuju pintu rumah sambil bicara, "Ayah pastikan rumah ini tidak seram seperti penampilannya!"
Membuatku senyum-senyum sendiri.
Saat di depan pintu. Pintu terbuka.
"Enli!!!" Ucap ibu sambil memelukku erat.
Tangisan ibu terdengar. Membuatku tidak kuasa menahan air mata.
"Maafkan aku, ibu. Selama ini selalu menyusahkanmu."
Ibu menatapku dengan wajah penuh air mata, "Ibu janji tidak akan lagi meninggalkanmu, saat kamu SAKIT."
Di belakang ibu, terlihat Ayah yang berdiri dan menatap kami, "Ayah juga janji tidak membiarkanmu TERSAKITI lagi."
(Selesai)
Posting Komentar
Posting Komentar