Hidup dan Mencari Uang Sendiri (Part 6)
Saat aku ingin berlari, sosok perempuan misterius menahan bahuku. Aku ketakutan melihat tangannya yang pucat. Segera aku menjauhkannya. Tapi tangannya begitu erat mencekram bahuku. Aku melihat ke arahnya dengan cemas perlahan Berharap dia menghilang saat aku menoleh ke belakang. Tapi justru dia tetap ada dengan penampilan mengerikan, rambut panjang terurai menutupi wajahnya.
Tiba-tiba dia mengikat rambutnya. Wajahnya terlihat jelas. Dia wanita yang ada di restoran tadi.
"Kamu Indri?" Tanyaku memastikan.
Dia menjawab dengan tersenyum, "Iya, aku melihat dari kejauhan ada yang merekammu di seberang jalan. Jadi aku kerjain aja dia."
Aku senang rasa kesalku terbalaskan, "Terima kasih!"
Dia memberikan HPnya ke aku sambil bilang, "Aku sudah batalkan perjanjian dengan kedua cowok aneh tadi. Jadi, kerjaan yang kamu tawarkan, aku mau. Bisa minta nomor HPmu biar kita bisa membicarakan tentang pekerjaan itu."
Aku bingung harus melakukan apa. Tapi aku coba jujur, "Aku gak punya HP. Kamu bisa datang ke rumahku nanti."
Aku mengambil HPnya dan menuliskan alamat rumahku, kemudian menyerahkannya lagi.
Sambil malu-malu aku bilang, "Bolehkah aku pinjam uangmu dulu, buat naik Angkot pulang ke rumah."
Dia segera mengeluarkan uangnya, "Ini ambilah, kamu pasti tidak punya uang tunai. Aku ngerti kok. Gadis kaya seperti kamu biasanya bawa kartu kredit."
Tanpa berkata-kata aku menerimanya dengan cemas.
Aku lalu pulang naik Angkot. Sampai di rumah aku segera memeriksa gudang. Mencari pakaianku yang tersisa karena di kamar semuanya habis dijarah orang-orang jahat. Setelah mandi dan berpakaian, lalu aku tidur meski dalam keadaan tidak nyaman.
Keesokan harinya, saat aku ingin pergi mencari keberadaan ibu dan kakak. Ari dan Fian datang secara bersamaan. Aku mendekati mereka di depan pagar. Terlihat Fian memarahi Ari.
"Katanya pinjam uang buat jalan sama cewek. Kenapa kemari?"
Ari menjawab, "Enlikan cewek!"
Fian tidak mau mengalah, "Aku sudah hutangin kamu uang, cari cewek lain."
Aku segera menyudahi petengkaran mereka, "Sudah hentikan. Biar aku sendiri yang pilih."
Aku membuka Pagar dan mengambil helm yang disediakan Ari untukku.
Fian protes, "Motorku lebih bagus dari dia. Kenapa memilihnya."
Tanpa membalasnya, aku dan Ari pergi.
Ari bicara sambil mengendarai motornya, "Kamu mau ke restoran mana?"
Aku menjawab, "Kita tidak ke restoran. Aku mau ke Villa ibu!"
Sesampainya di Villa milik ibu aku segera mengetuk pintu. Berharap ibu ada di sana. Lama aku mengetuk tapi tidak ada sahutan. Ari menghampiriku, "Kamu yakin ibumu ada di sini?"
Aku menghentikan mengetuk, lalu duduk sambil bersandar di pintu.
"Dulu ini rumah ayah. Kemudian direbut oleh seseorang dan diruntuhkan. Ibu mengambilnya kembali setelah ayah meninggal. Lalu membangun Villa di sini. Ibu biasa ke sini setelah berkunjung ke perusahaan tante Yena."
Tidak sadar curhatanku mengingatkanku sesuatu, "Oh iya, pasti Tante Yena tahu tentang ibu dan Kakak. Ayo kita ke sana." Ajakku.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang pria keluar dari rumah. Dia pak Canavaro, penjaga Villa. Aku biasanya memanggil Paijo.
"Nona sudah sembuh?" Tanyanya.
Apa Paijo tahu aku pernah gila, aku khawatir jika Ari tahu. Dia pasti akan takut denganku.
Aku segera mengalihkan topik pembicaraan, "Ibu dan Kakak ada di sini!"
Paijo terlihat panik, dia tidak menjawab justru membicarakan hal lain, "Ini Nona, hasil dari sewa Villa." Ucapnya sambil memberikan sejumlah uang cukup besar.
Aku kesal, "Aku tanya, Ibu dan Kakak di mana?"
Paijo menjawab cepat, "Saya gak tahu Non, saat datang ke rumah Nyonya Lina. Di sana kosong sama saat saya berkunjung ke tempat Nyonya Yena. Dia juga tidak ada. Bahkan perusahaan Nyonya Yena juga tutup dan ada tulisannya disita."
Aku kaget, khawatir dan bingung. Aku lalu mengambil uang itu kemudian pergi. Paijo lalu bicara, "Apa Nona tinggal sendiri."
Aku tidak menjawab dan terus melanjutkan jalan.
Ari mendekatiku, "Kita mau kemana lagi?"
Aku yang kesal menyerahkan semua uang ke dia, "Ambilah, malam tadi kamu harus keluar uang banyakan? Sampai jual jaket dan jam tanganmu segala. Sekalian buat bayar hutangmu ke Fian."
Ari tercengang saat aku bilang itu dan bertanya, "Bagaimana kamu bisa tahu?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Ari.
Dia lalu bicara, "Aku hutang buat traktir kamu makan. Masa kamu yang bayar hutangku!"
Aku melihat ke arahnya, "Kamu terlalu memaksakan diri. Aku hargai usahamu. Itu sebagai bukti kalau aku bukan cewek matre. Ambilah. Kalau tidak aku marah."
Ari terdiam, dia melihat uang di tangannya. Sudah ku duga dia juga membutuhkannya.
Tiba-tiba Ari menyerahkan sebagian uang kembali ke tanganku, "Aku cuma ambil yang pantas buatku. Aku bukan Koruptor. Ini sisanya punyamu, aku kembalikan."
Kami lalu ke mini market, aku membeli kebutuhanku dan bahan makanan. Saat sampai di rumah, aku memasakannya untuk Ari.
"Kamu benar-benar cewek idaman laki-laki, jarang cewek sekarang bisa masak." Komentar Ari yang ku balas dengan senyuman.
Menjelang senja, Ari pulang dan aku duduk di belakang rumah sambil menikmati indahnya Senja.
Air mataku menetes, "Ibu... Kakak... Kalian di mana, aku kangen..."
Tiba-tiba seekor Merpati Putih menghampiriku. Aku memungut dan meletakannya di pangkuanku.
"Ayah? Apa yang harus aku lakukan." Ucapku pada burung Merpati yang ku tahu itu peliharaan ayah.
Aku melihat ke sekeliling. Tidak ada kumpulan burung Gagak seperti kemaren. Cuma ada kami berdua.
Aku lalu memeluk Merpati itu. Ia cuma diam seakan senang dapat mengobati kesunyianku. Saat memeluknya. Aku sadar ada kertas yang terpasang di kakinya. Aku mengambil kertas tersebut dan kemudian Merpati itu terbang.
Aku membaca isi dari kertas tersebut,
'Enli, ayah harus menyelamatkan ibu dan kakakmu. Ayah yakin kamu bisa melewati semua ini. ~Sanja~'
Terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Di dalam hati aku sangat senang Ayah masih hidup. Meski aku tidak tahu bagaimana caranya Ayah selamat dari kecelakaan mobil 16 tahun yang lalu dan kenapa selama ini tidak menemui kami?
Ayah mungkin punya alasannya sendiri. Aku akan menunggu Ayah menjelaskannya langsung padaku nanti saat bertemu.
Yang terpenting sekarang aku membutuhkan sosok Ayah, yang melindungi dan memperhatikanku selalu. Aku mengusap air mataku dan menggantinya dengan senyuman bahagia. Kemudian murung, "Semoga Ibu dan Kakak tidak kenapa-kenapa!"
Ketika matahari mulai redup. Aku segera masuk rumah. Saat malam tiba. Terdengar suara ketukan pintu. Pasti itu Ayah, aku bergegas membuka pintu dengan wajah senang. Saat pintu terbuka, tiba-tiba aku jatuh tersungkur ke lantai.
"Aduh!"
Seperti ada yang mendorong tapi siapa? Saat aku melihat ke arah pintu yang terbuka. Tidak ada siapapun. Seketika aku merinding!
(Bersambung)
Tiba-tiba dia mengikat rambutnya. Wajahnya terlihat jelas. Dia wanita yang ada di restoran tadi.
"Kamu Indri?" Tanyaku memastikan.
Dia menjawab dengan tersenyum, "Iya, aku melihat dari kejauhan ada yang merekammu di seberang jalan. Jadi aku kerjain aja dia."
Aku senang rasa kesalku terbalaskan, "Terima kasih!"
Dia memberikan HPnya ke aku sambil bilang, "Aku sudah batalkan perjanjian dengan kedua cowok aneh tadi. Jadi, kerjaan yang kamu tawarkan, aku mau. Bisa minta nomor HPmu biar kita bisa membicarakan tentang pekerjaan itu."
Aku bingung harus melakukan apa. Tapi aku coba jujur, "Aku gak punya HP. Kamu bisa datang ke rumahku nanti."
Aku mengambil HPnya dan menuliskan alamat rumahku, kemudian menyerahkannya lagi.
Sambil malu-malu aku bilang, "Bolehkah aku pinjam uangmu dulu, buat naik Angkot pulang ke rumah."
Dia segera mengeluarkan uangnya, "Ini ambilah, kamu pasti tidak punya uang tunai. Aku ngerti kok. Gadis kaya seperti kamu biasanya bawa kartu kredit."
Tanpa berkata-kata aku menerimanya dengan cemas.
Aku lalu pulang naik Angkot. Sampai di rumah aku segera memeriksa gudang. Mencari pakaianku yang tersisa karena di kamar semuanya habis dijarah orang-orang jahat. Setelah mandi dan berpakaian, lalu aku tidur meski dalam keadaan tidak nyaman.
Keesokan harinya, saat aku ingin pergi mencari keberadaan ibu dan kakak. Ari dan Fian datang secara bersamaan. Aku mendekati mereka di depan pagar. Terlihat Fian memarahi Ari.
"Katanya pinjam uang buat jalan sama cewek. Kenapa kemari?"
Ari menjawab, "Enlikan cewek!"
Fian tidak mau mengalah, "Aku sudah hutangin kamu uang, cari cewek lain."
Aku segera menyudahi petengkaran mereka, "Sudah hentikan. Biar aku sendiri yang pilih."
Aku membuka Pagar dan mengambil helm yang disediakan Ari untukku.
Fian protes, "Motorku lebih bagus dari dia. Kenapa memilihnya."
Tanpa membalasnya, aku dan Ari pergi.
Ari bicara sambil mengendarai motornya, "Kamu mau ke restoran mana?"
Aku menjawab, "Kita tidak ke restoran. Aku mau ke Villa ibu!"
Sesampainya di Villa milik ibu aku segera mengetuk pintu. Berharap ibu ada di sana. Lama aku mengetuk tapi tidak ada sahutan. Ari menghampiriku, "Kamu yakin ibumu ada di sini?"
Aku menghentikan mengetuk, lalu duduk sambil bersandar di pintu.
"Dulu ini rumah ayah. Kemudian direbut oleh seseorang dan diruntuhkan. Ibu mengambilnya kembali setelah ayah meninggal. Lalu membangun Villa di sini. Ibu biasa ke sini setelah berkunjung ke perusahaan tante Yena."
Tidak sadar curhatanku mengingatkanku sesuatu, "Oh iya, pasti Tante Yena tahu tentang ibu dan Kakak. Ayo kita ke sana." Ajakku.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang pria keluar dari rumah. Dia pak Canavaro, penjaga Villa. Aku biasanya memanggil Paijo.
"Nona sudah sembuh?" Tanyanya.
Apa Paijo tahu aku pernah gila, aku khawatir jika Ari tahu. Dia pasti akan takut denganku.
Aku segera mengalihkan topik pembicaraan, "Ibu dan Kakak ada di sini!"
Paijo terlihat panik, dia tidak menjawab justru membicarakan hal lain, "Ini Nona, hasil dari sewa Villa." Ucapnya sambil memberikan sejumlah uang cukup besar.
Aku kesal, "Aku tanya, Ibu dan Kakak di mana?"
Paijo menjawab cepat, "Saya gak tahu Non, saat datang ke rumah Nyonya Lina. Di sana kosong sama saat saya berkunjung ke tempat Nyonya Yena. Dia juga tidak ada. Bahkan perusahaan Nyonya Yena juga tutup dan ada tulisannya disita."
Aku kaget, khawatir dan bingung. Aku lalu mengambil uang itu kemudian pergi. Paijo lalu bicara, "Apa Nona tinggal sendiri."
Aku tidak menjawab dan terus melanjutkan jalan.
Ari mendekatiku, "Kita mau kemana lagi?"
Aku yang kesal menyerahkan semua uang ke dia, "Ambilah, malam tadi kamu harus keluar uang banyakan? Sampai jual jaket dan jam tanganmu segala. Sekalian buat bayar hutangmu ke Fian."
Ari tercengang saat aku bilang itu dan bertanya, "Bagaimana kamu bisa tahu?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Ari.
Dia lalu bicara, "Aku hutang buat traktir kamu makan. Masa kamu yang bayar hutangku!"
Aku melihat ke arahnya, "Kamu terlalu memaksakan diri. Aku hargai usahamu. Itu sebagai bukti kalau aku bukan cewek matre. Ambilah. Kalau tidak aku marah."
Ari terdiam, dia melihat uang di tangannya. Sudah ku duga dia juga membutuhkannya.
Tiba-tiba Ari menyerahkan sebagian uang kembali ke tanganku, "Aku cuma ambil yang pantas buatku. Aku bukan Koruptor. Ini sisanya punyamu, aku kembalikan."
Kami lalu ke mini market, aku membeli kebutuhanku dan bahan makanan. Saat sampai di rumah, aku memasakannya untuk Ari.
"Kamu benar-benar cewek idaman laki-laki, jarang cewek sekarang bisa masak." Komentar Ari yang ku balas dengan senyuman.
Menjelang senja, Ari pulang dan aku duduk di belakang rumah sambil menikmati indahnya Senja.
Air mataku menetes, "Ibu... Kakak... Kalian di mana, aku kangen..."
Tiba-tiba seekor Merpati Putih menghampiriku. Aku memungut dan meletakannya di pangkuanku.
"Ayah? Apa yang harus aku lakukan." Ucapku pada burung Merpati yang ku tahu itu peliharaan ayah.
Aku melihat ke sekeliling. Tidak ada kumpulan burung Gagak seperti kemaren. Cuma ada kami berdua.
Aku lalu memeluk Merpati itu. Ia cuma diam seakan senang dapat mengobati kesunyianku. Saat memeluknya. Aku sadar ada kertas yang terpasang di kakinya. Aku mengambil kertas tersebut dan kemudian Merpati itu terbang.
Aku membaca isi dari kertas tersebut,
'Enli, ayah harus menyelamatkan ibu dan kakakmu. Ayah yakin kamu bisa melewati semua ini. ~Sanja~'
Terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Di dalam hati aku sangat senang Ayah masih hidup. Meski aku tidak tahu bagaimana caranya Ayah selamat dari kecelakaan mobil 16 tahun yang lalu dan kenapa selama ini tidak menemui kami?
Ayah mungkin punya alasannya sendiri. Aku akan menunggu Ayah menjelaskannya langsung padaku nanti saat bertemu.
Yang terpenting sekarang aku membutuhkan sosok Ayah, yang melindungi dan memperhatikanku selalu. Aku mengusap air mataku dan menggantinya dengan senyuman bahagia. Kemudian murung, "Semoga Ibu dan Kakak tidak kenapa-kenapa!"
Ketika matahari mulai redup. Aku segera masuk rumah. Saat malam tiba. Terdengar suara ketukan pintu. Pasti itu Ayah, aku bergegas membuka pintu dengan wajah senang. Saat pintu terbuka, tiba-tiba aku jatuh tersungkur ke lantai.
"Aduh!"
Seperti ada yang mendorong tapi siapa? Saat aku melihat ke arah pintu yang terbuka. Tidak ada siapapun. Seketika aku merinding!
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar