Dibawa Laki-Laki Tidak Dikenal (Part 4)
Aku tidak memperdulikan suara aneh di atas atap. Aku memilih berusaha mencoba melihat dari sela-sela dinding, Ingin memastikan, dia yang bernama Sanja. Apa benar ayahku.
Sangat sulit bergerak dengan keadaan tangan dan kaki terikat menyatu seperti ini. Belum sempat aku melihat keluar, suara percakapan sudah tidak terdengar lagi. Cuma terdengar suara pintu yang tertutup. Lalu suara langkah kaki menuju ke arah gudang di samping ruang tamu, tempatku berada.
Ria masuk, aku mencoba meninggikan tubuhku. Ingin melihat apa ada ayah di belakangnya. Tapi tidak ada yang muncul lagi.
Hanya ada Ria, dia menghampiriku, "Pakaian kakak sudah aku ganti dengan yang bersih. Luka kakak di jidat juga sudah kering. Kalau ada perlu lagi. Bikin berisik aja. Nanti aku datang." Jelasnya kemudian pergi.
Saat Ria pergi, aku mulai berpikir. Jika ayah ke sini. Dia pasti merasakan keberadaanku dan tidak akan pergi begitu saja. Aku segera menuju dinding. Mencari celah untuk melihat ayah yang masih aku yakini ada di luar.
Aku menggunakan celah di dinding yang di bawah untuk melihat ke luar. Terlalu kecil. Aku kembali berusaha meninggikan badan dengan berjongkok untuk melihat celah lain yang lebih besar di atasnya. Meskipun sulit aku tidak menyerah hingga akhirnya aku bisa melihat melalui celah itu. Terlihat olehku halaman di depan pintu rumah.
Aku sedih, tidak ada ayah di sana. Air mataku menetes. Tiba-tiba aku sadar. Ada sosok burung putih di tengah halaman. Saat aku perhatikan itu seperti burung Merpati. Cuma ada seekor. Aneh biasanya mereka berpasangan.
Brakkk...
Aku kaget. Tiba-tiba ada yang terjatuh. Salah satu genteng dari tanah liat tergeletak di lantai di depanku. Aku segera melihat ke atas. Aku tercengang melihat tiga burung Gagak dari lubang atap yang cukup besar. Mereka lalu terbang pergi. Kemudian ada sesuatu yang masuk. Kali ini seekor burung Merpati. Dia terbang dan mendarat di depanku. Terlihat di kakinya terikat sebuah pisau lipat. Aku tidak tahu siapa yang mengirimkannya. Segera aku meraih pisau itu dengan tangan yang juga terikat, dengan besusah payah mengeser-geser badanku. Setelah mendapatkannya langsung ku gunakan untuk melepaskan ikatan di tangan dan kakiku sebisa mungkin.
Aku tidak menyangka bakalan bisa terlepas dan bisa bergerak bebas. Tiba-tiba Ria datang masuk. Membuatku terkejut hingga pisau di tanganku terlepas dari genggaman. Dia pasti mendengar suara genteng tadi. Terlihat di tangannya alat setrum. Seketika burung Merpati menyerang Ria hingga terjatuh. Kesempatan ini langsung aku gunakan untuk segera keluar dari gudang. Melewati Ria yang tergeletak dan menuju pintu keluar. Mudah bagiku membukanya karena kuncinya juga terpasang. Dengan sekuat tenaga yang tersisa aku berlari.
Hah hah hah. Aku terengah engah. Tapi aku sudah sampai di pinggir jalan. Akhirnya aku bebas. Tapi kemudian aku di hampiri dua pemuda yang masing-masing menggunakan sepeda motor dari depan. Aku melihat ke belakang. Ada Ria dengan jarak cukup jauh, tapi dia berhenti mengejarku.
Kemudian para pengendara motor itu turun dari motornya masing-masing dan mendekatiku. Badanku gemetar. Aku terlalu lemah untuk berlari dari mereka. Entah kenapa aku menjadi takut dengan para lelaki. Terlalu banyak pengalaman burukku dengan mereka.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya salah satu dari mereka.
Sambil menundukan kepalaku, aku menjawab, "Tidak apa-apa!"
Dia lalu mengulurkan tangannya, "Pekenalkan namaku Fian!"
Aku terdiam.
Yang satunya menurunkan tangan Fian lalu menggantinya dengan tangannya, "Kalau aku Ari."
Baik Fian ataupun Ari tidak satupun tangannya aku sambut. Aku masih trauma dan cuma memperhatikan mereka.
Ari mendorong Fian, "Sudahlah Fian, kamu cari cewek lain. Yang ini buat aku saja."
Mendengar itu aku segera meninggalkan mereka. Fian kembali menyusulku, "Maafkan temanku, Ari. Dia orangnya memang gitu. Suka becanda."
Aku tidak menjawab dan terus jalan, "Mungkin aku bisa bantu kamu, daripada jalan kaki mending aku antar."
Aku menghentikan langkahku dan memandanginya.
"Bisa antar aku ke rumah."
Dia langsung pergi mengambil motornya dan menghampiriku, "Ayo!"
Aku lalu diantar Fian sampai ke rumah. Aku memandangi rumah dengan waktu cukup lama. Seperti sudah lama aku tidak ke sini.
"Kamu tinggal dengan siapa?" Tanya Fian memecah lamunanku.
Sambil membuka pagar yang tidak terkunci aku menjawabnya, "Dengan ibu dan kakak laki-lakiku."
Fian masih belum pergi juga. Aku menghampiri dan menjabat tangannya, "Terima kasih. Namaku Enli. Salam kenal."
Dia tersenyum senang. Bersiap pergi dan aku juga segera masuk.
"Enli!" Panggil Fian.
Aku kembali berbalik, "Ada apa?" Tanyaku.
Lama, kemudian dia menjawab, "Boleh besok aku mampir lagi."
Aku menutup pagar, "Silahkan." Jawabku lalu segera mendekati rumah.
Saat di depan rumah, aku tidak tahu kenapa. Rumah ini terlihat terbengkalai dan seram.
Aku kesal, "Apa yang dilakukan kak Enja. Kenapa dia tidak merawat rumah peninggalan ayah ini."
Aku lalu mengetuk pintu.
Tok...
Baru sekali mengetuk, tiba-tiba pintu terbuka sendiri. Merinding. Saat aku melihat dalam rumah. Aku benar-benar terkejut.
(Bersambung)
Sangat sulit bergerak dengan keadaan tangan dan kaki terikat menyatu seperti ini. Belum sempat aku melihat keluar, suara percakapan sudah tidak terdengar lagi. Cuma terdengar suara pintu yang tertutup. Lalu suara langkah kaki menuju ke arah gudang di samping ruang tamu, tempatku berada.
Ria masuk, aku mencoba meninggikan tubuhku. Ingin melihat apa ada ayah di belakangnya. Tapi tidak ada yang muncul lagi.
Hanya ada Ria, dia menghampiriku, "Pakaian kakak sudah aku ganti dengan yang bersih. Luka kakak di jidat juga sudah kering. Kalau ada perlu lagi. Bikin berisik aja. Nanti aku datang." Jelasnya kemudian pergi.
Saat Ria pergi, aku mulai berpikir. Jika ayah ke sini. Dia pasti merasakan keberadaanku dan tidak akan pergi begitu saja. Aku segera menuju dinding. Mencari celah untuk melihat ayah yang masih aku yakini ada di luar.
Aku menggunakan celah di dinding yang di bawah untuk melihat ke luar. Terlalu kecil. Aku kembali berusaha meninggikan badan dengan berjongkok untuk melihat celah lain yang lebih besar di atasnya. Meskipun sulit aku tidak menyerah hingga akhirnya aku bisa melihat melalui celah itu. Terlihat olehku halaman di depan pintu rumah.
Aku sedih, tidak ada ayah di sana. Air mataku menetes. Tiba-tiba aku sadar. Ada sosok burung putih di tengah halaman. Saat aku perhatikan itu seperti burung Merpati. Cuma ada seekor. Aneh biasanya mereka berpasangan.
Brakkk...
Aku kaget. Tiba-tiba ada yang terjatuh. Salah satu genteng dari tanah liat tergeletak di lantai di depanku. Aku segera melihat ke atas. Aku tercengang melihat tiga burung Gagak dari lubang atap yang cukup besar. Mereka lalu terbang pergi. Kemudian ada sesuatu yang masuk. Kali ini seekor burung Merpati. Dia terbang dan mendarat di depanku. Terlihat di kakinya terikat sebuah pisau lipat. Aku tidak tahu siapa yang mengirimkannya. Segera aku meraih pisau itu dengan tangan yang juga terikat, dengan besusah payah mengeser-geser badanku. Setelah mendapatkannya langsung ku gunakan untuk melepaskan ikatan di tangan dan kakiku sebisa mungkin.
Aku tidak menyangka bakalan bisa terlepas dan bisa bergerak bebas. Tiba-tiba Ria datang masuk. Membuatku terkejut hingga pisau di tanganku terlepas dari genggaman. Dia pasti mendengar suara genteng tadi. Terlihat di tangannya alat setrum. Seketika burung Merpati menyerang Ria hingga terjatuh. Kesempatan ini langsung aku gunakan untuk segera keluar dari gudang. Melewati Ria yang tergeletak dan menuju pintu keluar. Mudah bagiku membukanya karena kuncinya juga terpasang. Dengan sekuat tenaga yang tersisa aku berlari.
Hah hah hah. Aku terengah engah. Tapi aku sudah sampai di pinggir jalan. Akhirnya aku bebas. Tapi kemudian aku di hampiri dua pemuda yang masing-masing menggunakan sepeda motor dari depan. Aku melihat ke belakang. Ada Ria dengan jarak cukup jauh, tapi dia berhenti mengejarku.
Kemudian para pengendara motor itu turun dari motornya masing-masing dan mendekatiku. Badanku gemetar. Aku terlalu lemah untuk berlari dari mereka. Entah kenapa aku menjadi takut dengan para lelaki. Terlalu banyak pengalaman burukku dengan mereka.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya salah satu dari mereka.
Sambil menundukan kepalaku, aku menjawab, "Tidak apa-apa!"
Dia lalu mengulurkan tangannya, "Pekenalkan namaku Fian!"
Aku terdiam.
Yang satunya menurunkan tangan Fian lalu menggantinya dengan tangannya, "Kalau aku Ari."
Baik Fian ataupun Ari tidak satupun tangannya aku sambut. Aku masih trauma dan cuma memperhatikan mereka.
Ari mendorong Fian, "Sudahlah Fian, kamu cari cewek lain. Yang ini buat aku saja."
Mendengar itu aku segera meninggalkan mereka. Fian kembali menyusulku, "Maafkan temanku, Ari. Dia orangnya memang gitu. Suka becanda."
Aku tidak menjawab dan terus jalan, "Mungkin aku bisa bantu kamu, daripada jalan kaki mending aku antar."
Aku menghentikan langkahku dan memandanginya.
"Bisa antar aku ke rumah."
Dia langsung pergi mengambil motornya dan menghampiriku, "Ayo!"
Aku lalu diantar Fian sampai ke rumah. Aku memandangi rumah dengan waktu cukup lama. Seperti sudah lama aku tidak ke sini.
"Kamu tinggal dengan siapa?" Tanya Fian memecah lamunanku.
Sambil membuka pagar yang tidak terkunci aku menjawabnya, "Dengan ibu dan kakak laki-lakiku."
Fian masih belum pergi juga. Aku menghampiri dan menjabat tangannya, "Terima kasih. Namaku Enli. Salam kenal."
Dia tersenyum senang. Bersiap pergi dan aku juga segera masuk.
"Enli!" Panggil Fian.
Aku kembali berbalik, "Ada apa?" Tanyaku.
Lama, kemudian dia menjawab, "Boleh besok aku mampir lagi."
Aku menutup pagar, "Silahkan." Jawabku lalu segera mendekati rumah.
Saat di depan rumah, aku tidak tahu kenapa. Rumah ini terlihat terbengkalai dan seram.
Aku kesal, "Apa yang dilakukan kak Enja. Kenapa dia tidak merawat rumah peninggalan ayah ini."
Aku lalu mengetuk pintu.
Tok...
Baru sekali mengetuk, tiba-tiba pintu terbuka sendiri. Merinding. Saat aku melihat dalam rumah. Aku benar-benar terkejut.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar