Ditinggal Saat Lagi Sayang (Part 10)
Tiba-tiba langit mendung. Suasana seketika menyeramkan. Aku dihadapkan jalan gelap diselimuti pepohonan dan di belakangku ada sosok misterius yang bikin aku merinding.
"Kamu sendiri?" Suara itu terdengar datar. Aku mengurungkan niat menoleh ke belakang.
"Akhhh..." Teriakku sambil menunduk ketakutan.
"Kalau kamu penakut seharusnya jangan biarkan temanmu pergi?" Ucapnya aneh, dia menasehatiku. Aku lalu memberanikan diri menoleh ke belakang.
"Kak Enja?" Tanyaku terkejut tidak percaya itu dia.
"Ayo, aku antar sampai sekolah." Ucap kak Enja kemudian berjalan melewatiku.
Aku langsung bergegas mengikuti kak Enja. Aku langsung menggandeng tangannya. Kakak terlihat heran melihatku.
"Aku takut kak." Ucapku dan kakak akhirnya membiarkanku.
Tangan kakak hangat. Suasana dingin di pagi ini tidak terasa.
Aku teringat akhir-akhir ini kakak aneh.
"Kak Enja, kenapa selalu menghindariku?" Tanyaku.
"Kan ada teman sekolahmu!" Balas kak Enja.
"Itukan saat ingin ke sekolah. Di rumah kakak tetap menghindariku?" Tanyaku masih belum puas.
"Aku takut tergoda melihatmu." Jawaban kak Enja mengejutkanku.
Aku segera melepaskan tangan kak Enja.
"Maaf!" Ucapku.
"Bukan perilakumu, tapi gaya pakaianmu saat di rumah." Ucap kak Enja sambil tersenyum.
"Apa karena aku pakai celana pendek dan baju ketat?" Tebakku.
"Aku bisa mengubahnya asalkan kakak tidak menjauhiku lagi." Ucapku cepat tidak membiarkan kak Enja menjawabnya.
Kak Enja berhenti dan dia menatapku hingga membuatku gugup.
''Jadilah dirimu sendiri. Aku sudah bisa mengendalikan nafsuku sendiri. Jadi tidak perlu khawatir." Balas kak Enja kemudian melanjutkan jalan.
Tatapan kakak sama sekali menunjukan tidak ada ketertarikan denganku. Aku kesal. Aku ingat kata-kata ibu mengenai kak Enja yang lagi dekat dengan seorang gadis. Saat aku ingin menanyakannya kak Enja malah bicara duluan.
"Maafkan aku ya, pernah kasar denganmu, sebagai gantinya apapun yang kamu inginkan akan aku belikan."
Aku terkejut sekaligus emosi, "Aku sudah melupakannya kak. Aku senang kakak minta maaf, tapi tidak perlu berlebihan dengan membelikanku sesuatu dengan uang ibu!"
Kak Enja terlihat tersenyum lagi, entah apa yang lucu, "Aku tidak lagi pakai uang saku pemberian ibu seperti kamu. Uang pemberian ibu tetap aku terima, tapi aku menabungnya untuk hari tua ibu nanti. Sekarang aku memakai uang dari hasil kerja. Jangan bilang ibu, jika aku sudah berkerja!"
Aku kaget dan juga malu. Lalu aku berhenti berjalan. Terlihat kakak yang ada di samping kananku juga menghentikan langkahnya.
"Kakak kerja apa?" Tanyaku tidak menatap ke arah kakak.
"Kak Enja, marah ya sama aku!" Ucapku karena kak Enja tidak menjawab.
Tapi kakak masih diam, aku kembali bicara, ''Iya, aku janji tidak akan bilang ke ibu."
Aku mulai kesal kakak terus diam, "Kakak!" Ucapku sambil memalingkan wajah ke arah kakak yang berada di kananku.
Aku merinding melihat kak Enja sudah tidak ada. Yang membuatku tercengang, tanpa ku sadari aku sudah sampai di sekolahku. Tepat di kananku sudah ada gerbang sekolah.
Entah ini Dejavu atau bukan, tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku dari belakang.
(Bersambung)
"Kamu sendiri?" Suara itu terdengar datar. Aku mengurungkan niat menoleh ke belakang.
"Akhhh..." Teriakku sambil menunduk ketakutan.
"Kalau kamu penakut seharusnya jangan biarkan temanmu pergi?" Ucapnya aneh, dia menasehatiku. Aku lalu memberanikan diri menoleh ke belakang.
"Kak Enja?" Tanyaku terkejut tidak percaya itu dia.
"Ayo, aku antar sampai sekolah." Ucap kak Enja kemudian berjalan melewatiku.
Aku langsung bergegas mengikuti kak Enja. Aku langsung menggandeng tangannya. Kakak terlihat heran melihatku.
"Aku takut kak." Ucapku dan kakak akhirnya membiarkanku.
Tangan kakak hangat. Suasana dingin di pagi ini tidak terasa.
Aku teringat akhir-akhir ini kakak aneh.
"Kak Enja, kenapa selalu menghindariku?" Tanyaku.
"Kan ada teman sekolahmu!" Balas kak Enja.
"Itukan saat ingin ke sekolah. Di rumah kakak tetap menghindariku?" Tanyaku masih belum puas.
"Aku takut tergoda melihatmu." Jawaban kak Enja mengejutkanku.
Aku segera melepaskan tangan kak Enja.
"Maaf!" Ucapku.
"Bukan perilakumu, tapi gaya pakaianmu saat di rumah." Ucap kak Enja sambil tersenyum.
"Apa karena aku pakai celana pendek dan baju ketat?" Tebakku.
"Aku bisa mengubahnya asalkan kakak tidak menjauhiku lagi." Ucapku cepat tidak membiarkan kak Enja menjawabnya.
Kak Enja berhenti dan dia menatapku hingga membuatku gugup.
''Jadilah dirimu sendiri. Aku sudah bisa mengendalikan nafsuku sendiri. Jadi tidak perlu khawatir." Balas kak Enja kemudian melanjutkan jalan.
Tatapan kakak sama sekali menunjukan tidak ada ketertarikan denganku. Aku kesal. Aku ingat kata-kata ibu mengenai kak Enja yang lagi dekat dengan seorang gadis. Saat aku ingin menanyakannya kak Enja malah bicara duluan.
"Maafkan aku ya, pernah kasar denganmu, sebagai gantinya apapun yang kamu inginkan akan aku belikan."
Aku terkejut sekaligus emosi, "Aku sudah melupakannya kak. Aku senang kakak minta maaf, tapi tidak perlu berlebihan dengan membelikanku sesuatu dengan uang ibu!"
Kak Enja terlihat tersenyum lagi, entah apa yang lucu, "Aku tidak lagi pakai uang saku pemberian ibu seperti kamu. Uang pemberian ibu tetap aku terima, tapi aku menabungnya untuk hari tua ibu nanti. Sekarang aku memakai uang dari hasil kerja. Jangan bilang ibu, jika aku sudah berkerja!"
Aku kaget dan juga malu. Lalu aku berhenti berjalan. Terlihat kakak yang ada di samping kananku juga menghentikan langkahnya.
"Kakak kerja apa?" Tanyaku tidak menatap ke arah kakak.
"Kak Enja, marah ya sama aku!" Ucapku karena kak Enja tidak menjawab.
Tapi kakak masih diam, aku kembali bicara, ''Iya, aku janji tidak akan bilang ke ibu."
Aku mulai kesal kakak terus diam, "Kakak!" Ucapku sambil memalingkan wajah ke arah kakak yang berada di kananku.
Aku merinding melihat kak Enja sudah tidak ada. Yang membuatku tercengang, tanpa ku sadari aku sudah sampai di sekolahku. Tepat di kananku sudah ada gerbang sekolah.
Entah ini Dejavu atau bukan, tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku dari belakang.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar