Hubungan Tanpa Proses (Part 3)
Di luar kafe Sintia dan Aya sudah menunggu.
"Pacarmu mau ke mana, Lina?" Melihat Sanja pergi menjauh.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Karena memang gak tau Sanja mau ke mana.
Sanja kembali mendekati kami.
"Aku mau ambil motor dulu. Nanti aku ikuti dari belakang. Mobil kalian warna putih itu kan?" Ucap Sanja sambil menunjuk ke arah mobil di dekat kami.
"Iya benar. Naik mobil kami saja. Nanti kami pulang dari rumah Via lewat sini juga jadi kamu bisa ambil motormu. Kalau kita bawa mobil dan motor bikin macet jalan." Terang Sintia.
Sanja melihat ke arahku. Bikin aku bengong.
"Lina, izinin pacarmu." Bentak Aya.
"I i ya. Ikut kami saja." Jawabku terbantah-bantah.
Kami lalu pergi ke rumah Via. Sintia mengendari mobilnya dan Aya disampingnya. Aku dan Sanja duduk dibelakang. Karena terlalu lama saling diam akhirnya ditegur Aya.
"Kalian pasangan seperti apa? Kok saling terpaku gitu."
Aku bingung harus jawab apa, "Ini gaya pacaran kami." Ucapku ngasal.
"Hah, maksudnya?" Tanya Aya dengan heran.
"Kami cuma membicarakan yang penting saja." Sambung Sanja.
"Ceritakan bagaimana kalian bisa pacaran, Lina belum pernah ceritain tentang kamu, Sanja!" Sambung Sintia.
"Sanja yang ngejar-ngejar aku." Ucapku dengan egois.
"Waktu itu dia bawa telponku, hanya demi minta nomor kontakku aja. Jadi aku kejar." Balas Sanja gak mau kalah.
"Sebelumnya dia foto aku diam-diam di hpnya. Mungkin terlalu naksirnya dia sama aku. Tapi ketahuan. Jadi ku ambil HP nya buat hapus fotoku." Balasku lagi.
"Tapi dia salah sangka. Aku foto bunga di sampingnya. Lina yang merasa bersalah ngajakku kenalan, untuk buang malu mungkin." Balas Sanja bikin aku geregetan.
"Sudah selesai debat gak pentingnya. Kita udah sampai nih." Ucap Aya.
Aku turun dari mobil dengan rasa kesal. Sedangkan Sanja dengan wajah penuh bahagianya malah tersenyum ke arahku.
Saatku coba memarahi Sanja. Perhatianku dan teman-teman tersita oleh teriakan Via.
Kami semua disambut adik Via. Diarahkan menuju kamar Via. Di sana Via terlihat kesakitan dan muntah darah. Dia juga keringatan. Kedua orang tuanya ada di sampingnya. Terlihat air mata si ibu dan rasa sedih di wajah si ayah. Beberapa tetangga yang menjenguk keluar dari kamar memberikan ruang untuk kami.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Via?" Tanya Sintia pelan.
"Ibu tidak tahu. Tapi kata Via kepada adiknya, dia pernah diancam oleh pria setelah menolak cintanya. Tidak berapa lama kemudian Via seperti ini, sudah diobati di rumah sakit, dokter sudah angkat tangan, Via juga tidak bisa diajak bicara." Terang ibu Via.
Aku dan Sanja berada di belakang Sintia dan Aya.
"Menurutmu, Via kenapa?" Tanyaku pada Sanja berbisik.
Tapi pertanyaanku tidak di jawab Sanja. Ku lihat dia tak memperlihatkan ekspresi apapun. Saat ku sentuh tangannya, serasa sangat dingin seperti mayat. Aku yang khawatir dia bakalan kerasukan segera menepuk pundaknya, lalu dia mulai merespon.
"Iya, ada apa?" Tanya baliknya.
Aku kesal, "Emang tadi jiwamu tidak di ragamu jadi tidak memperhatiakanku bicara."
"Mungkin." Jawabnya singkat.
"Mau kamu kerasukan, melamun gitu." Ucapku lagi.
"Tidak mungkin." Jawabnya dengan yakin.
"Ayah, ibu. Maafkan aku." Tiba-tiba Via bicara normal. Dia memeluk kedua orang tuanya. Suara tangisan terdengar. Aku bahkan tidak habis pikir Via yang tadi sekarat dengan cepatnya baikan meski lemas. Via tidak lagi muntah. Aku heran dan curiga Sanja melakukan sesuatu walaupun tidak menyentuh Via.
Aku segera menyentuh tangannya. Benar saja. Tangan Sanja terasa hangat. Dia benar-benar aneh.
(Bersambung)
"Pacarmu mau ke mana, Lina?" Melihat Sanja pergi menjauh.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Karena memang gak tau Sanja mau ke mana.
Sanja kembali mendekati kami.
"Aku mau ambil motor dulu. Nanti aku ikuti dari belakang. Mobil kalian warna putih itu kan?" Ucap Sanja sambil menunjuk ke arah mobil di dekat kami.
"Iya benar. Naik mobil kami saja. Nanti kami pulang dari rumah Via lewat sini juga jadi kamu bisa ambil motormu. Kalau kita bawa mobil dan motor bikin macet jalan." Terang Sintia.
Sanja melihat ke arahku. Bikin aku bengong.
"Lina, izinin pacarmu." Bentak Aya.
"I i ya. Ikut kami saja." Jawabku terbantah-bantah.
Kami lalu pergi ke rumah Via. Sintia mengendari mobilnya dan Aya disampingnya. Aku dan Sanja duduk dibelakang. Karena terlalu lama saling diam akhirnya ditegur Aya.
"Kalian pasangan seperti apa? Kok saling terpaku gitu."
Aku bingung harus jawab apa, "Ini gaya pacaran kami." Ucapku ngasal.
"Hah, maksudnya?" Tanya Aya dengan heran.
"Kami cuma membicarakan yang penting saja." Sambung Sanja.
"Ceritakan bagaimana kalian bisa pacaran, Lina belum pernah ceritain tentang kamu, Sanja!" Sambung Sintia.
"Sanja yang ngejar-ngejar aku." Ucapku dengan egois.
"Waktu itu dia bawa telponku, hanya demi minta nomor kontakku aja. Jadi aku kejar." Balas Sanja gak mau kalah.
"Sebelumnya dia foto aku diam-diam di hpnya. Mungkin terlalu naksirnya dia sama aku. Tapi ketahuan. Jadi ku ambil HP nya buat hapus fotoku." Balasku lagi.
"Tapi dia salah sangka. Aku foto bunga di sampingnya. Lina yang merasa bersalah ngajakku kenalan, untuk buang malu mungkin." Balas Sanja bikin aku geregetan.
"Sudah selesai debat gak pentingnya. Kita udah sampai nih." Ucap Aya.
Aku turun dari mobil dengan rasa kesal. Sedangkan Sanja dengan wajah penuh bahagianya malah tersenyum ke arahku.
Saatku coba memarahi Sanja. Perhatianku dan teman-teman tersita oleh teriakan Via.
Kami semua disambut adik Via. Diarahkan menuju kamar Via. Di sana Via terlihat kesakitan dan muntah darah. Dia juga keringatan. Kedua orang tuanya ada di sampingnya. Terlihat air mata si ibu dan rasa sedih di wajah si ayah. Beberapa tetangga yang menjenguk keluar dari kamar memberikan ruang untuk kami.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Via?" Tanya Sintia pelan.
"Ibu tidak tahu. Tapi kata Via kepada adiknya, dia pernah diancam oleh pria setelah menolak cintanya. Tidak berapa lama kemudian Via seperti ini, sudah diobati di rumah sakit, dokter sudah angkat tangan, Via juga tidak bisa diajak bicara." Terang ibu Via.
Aku dan Sanja berada di belakang Sintia dan Aya.
"Menurutmu, Via kenapa?" Tanyaku pada Sanja berbisik.
Tapi pertanyaanku tidak di jawab Sanja. Ku lihat dia tak memperlihatkan ekspresi apapun. Saat ku sentuh tangannya, serasa sangat dingin seperti mayat. Aku yang khawatir dia bakalan kerasukan segera menepuk pundaknya, lalu dia mulai merespon.
"Iya, ada apa?" Tanya baliknya.
Aku kesal, "Emang tadi jiwamu tidak di ragamu jadi tidak memperhatiakanku bicara."
"Mungkin." Jawabnya singkat.
"Mau kamu kerasukan, melamun gitu." Ucapku lagi.
"Tidak mungkin." Jawabnya dengan yakin.
"Ayah, ibu. Maafkan aku." Tiba-tiba Via bicara normal. Dia memeluk kedua orang tuanya. Suara tangisan terdengar. Aku bahkan tidak habis pikir Via yang tadi sekarat dengan cepatnya baikan meski lemas. Via tidak lagi muntah. Aku heran dan curiga Sanja melakukan sesuatu walaupun tidak menyentuh Via.
Aku segera menyentuh tangannya. Benar saja. Tangan Sanja terasa hangat. Dia benar-benar aneh.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar