Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Kaya Tanpa Kerja dan Modal (Part 10)

Author
Published Senin, Juli 02, 2018
Kaya Tanpa Kerja dan Modal (Part 10)
Hari sudah senja. Sebentar lagi malam akan tiba. Sambil menyetir Sanja bicara.
"Kemampuanku hanya satu, dapat melepaskan setengah rohku, lalu, menggunakannya di dunia lain yang tidak kita tahu..."
"...Aku bisa melihat sekaligus menyentuh, mereka yang kalian sebut hantu..."
"...Aku dapat membasmi mereka, bukan hanya menyaksikannya saja..."

"Kamu malaikat pencabut nyawa hantu?" Potongku sekaligus bertanya.
Sanja tersenyum, "Entahlah. Aku juga tidak tahu siapa aku sebenarnya. Kemampuan inilah, yang kugunakan untuk membuat rumah angker tidak lagi angker..."
"...Awalku memulai bisnis, dari membeli rumah terangker yang sering memakan korban. Karenanya tidak ada yang mau membeli. Jadi aku menawarkan membeli dengan nyicil. Pemilik rumah setuju asalkan aku tidak mundur..."
"...Aku mengubahnya jadi tempat penginapan yang aman tanpa gangguan. Biaya sewanya sebagian aku gunakan untuk membayar cicilan rumah..."

"Kamu tidak menggunakan uang sama sekali?" Tanyaku.
"Bisa dikatakan seperti itu. Tanpa uang muka dan aku bisa bayar saat aku punya uangnya."
"Tidak ada orang yang seperti itu. Bahkan gubernur sampai presiden tidak akan mau memberikan DP 0% secara percuma, tanpa adanya jaminan pendapatan atau syarat lainnya." Tanyaku.
"Pemiliknya stroke, tidak bisa bergerak tapi bisa bicara. Sebagian rohnya terjebak di dunia lain. Aku menjemput rohnya dengan rohku. Mengembalikan ke raganya dan membuat dia sembuh..." Jelas Sanja bikin aku tercengang.

"Dia bisa saja beranggapan, sembuh sendiri." Balasku.
"Aku harus menyentuhnya dengan ragaku untuk memasukan rohnya ke raganya."
"Saat kamu menyentuhnya... Kamu buat dia bergerak. Sama seperti yang kamu lakukan padaku?" Tanyaku menebak.
"Kita punya dua hati, raga kita berbeda, tapi jiwa kita menyatu." Balas Sanja. Entah itu cuma kalimat puitis atau yang sebenarnya.

Magrib telah tiba. Karena masih suasana Ramadan. Kami berhenti di warung untuk berbuka puasa. Kemudian singgah di mesjid untuk salat seperti biasanya jika waktu salat tiba. Sanja mengimamiku salat. Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan.

Sanja tersenyum melihatku masih kebingungan.
"Kamu senang aku bingung?" Tanyaku kesal.
"Aku juga bisa mengendalikan tubuh seseorang melalui rohnya yang kusentuh langsung melalui tubuhku." Balasnya bikin aku sedikit mengerti apa yang dia lakukan padaku.

"Kamu bisa jadi terkenal seperti anak kecil yang dapat menyembuhkan dengan batu yang dicelupkan ke air." Ucapku.
"Semakin banyak orang tahu. Kemampuanku semakin menghilang..."

"Bagaimana kamu tahu? Malaikat yang kasih tahu!" Tanyaku.
"...Sebelumnya aku ceritakan tentang kemampuan ini ke adikku. Dia bilang, sedikit apapun kemampuan kakak, sebaiknya gunakan secara maksimal..."
"...Semenjak itu terjadi, aku yang dulu bisa menggunakan kemampuan ini sesuka hati, kadang suka terhenti, ragaku lebih cepat dingin seakan menarik jiwaku untuk segera menempati, sebelum raga ini benar-benar mati..."
"Maafkan aku, yang jadi harus tahu!" Balasku menyesal.
"Dari semua orang yang tahu tentang ini, cuma kamu yang mengerti. Aku senang tidak harus menyimpan rahasia ini sendiri, aku terbebani, kini, aku ditemani." Ucapan Sanja bikin aku senang.
"Iya suamiku nanti, aku akan menemani, hingga akhir jiwa raga ini." Balasku menirukan gaya Sanja.
Kami tersenyum bersama.

"Oh iya, apa yang kamu katakan pada orang itu?" Tanyaku.
"Jangan katakan ke orang lain." Balas Sanja.
"Tidak mungkin dia mau, kalau kamu cuma bilang gitu?" Tanyaku.
"Kamu benar, dia bilang, kebaikan harus disebar luaskan, dan dia tanya, selain menyembuhkan stroke apa lagi kemampuanku?..."

"...Aku jawab, aku juga bisa membuat orang stroke..."
"...Kemudian dia berjanji, tidak akan mengatakannya kepada siapapun." Cerita Sanja bikin aku ingin tertawa meskipun Sanja berkata jujur tanpa berniat jahat tapi tetap saja dia terkesan mengancam.

"Kalau kamu ceritakan ke orang tuamu. Kamu seperti mempermainkannya dengan cerita dongeng, itu kayaknya tidak sopan." Ucapku.
"Iya. Caraku kaya tidak masuk diakal..." Sambung Sanja tersenyum kemudian mengangkat telponnya yang berbunyi.

Tanpa bicara Sanja menutup telponnya.
"Ada apa Sanja?" Tanyaku karena senyumannya hilang dan tergantikan dengan wajah datarnya.
"Yena ingin, aku pergi jauh!" Ucapnya bikin aku kaget.
"Apa dia marah, karena tahu kita akan menikah?" Tanyaku cemas.
"Maafkan. Gara-gara aku. Persahabatan kalian hancur." Ucapku takut.
"Kita tidak bisa membuat jalan tol yang lurus maupun jalan pintas di dunia takdir yang diciptakan sang Pencipta. Tapi kita dapat memilih, menyerah menerima keadaan, atau terus menghadapinya dengan penuh harapan." Balas Sanja.

Malam hari tiba. Kami sampai di depan rumahku. Suasananya gelap. Saat kami turun. Tiba-tiba datang sekelompok polisi dari kegelapan dan menodongkan pistol ke arah Sanja. Aku terkejut sekaligus gemetar.

Tiba-tiba Sani muncul, "Kakak itu yang menculik aku." Ucapnya sambil menunjuk ke arah Sanja membuatku terperangah.

Polisi langsung meringkus Sanja tanpa perlawanan. Terlihat Yena yang sudah diborgol oleh polisi dan beberapa polisi mendekatiku.
"Yena, aku yang perintah dan Lina, dia tidak terlibat apa-apa." Terang Sanja.

***

Hari yang kelam itu berlalu hingga proses pengadilan tiba. Sanja ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan. Yena dan aku dibebaskan.

Sebelum Sanja dimasukan dalam sel penjara, Sanja menyentuh pundakku dan menenangkanku yang terus menangis.
"Beruntung kita belum sempat menikah. Jadi kamu bisa cari suami yang lain. Maaf untuk pertama kalinya aku tidak bisa menepati janjiku." Ucap Sanja yang membuatku langsung menggenggam kerah baju Sanja dengan erat.
"Kamu pernah berjanji menikahiku. Jika kamu tidak bisa menepatinya. Maka aku akan membantumu menepatinya." Ucapku penuh harap.
"Kadang jalan yang kita lewati tidak sesuai harapan dan aku sedang menemui jalan buntu tapi kamu tidak, kamu bisa memilih jalanmu sendiri." Balas Sanja, untuk pertama kalinya meneteskan air matanya di depanku.
"Kamu pernah bilang, kita tidak bisa mengubah takdir, tapi kita bisa memilih dan aku memilih jalan terus dan menghancurkan jalan buntu yang kamu temui." Ucapku lalu menghadap ke polisi.
"Pak, izinkan kami menikah!" Mohonku.

***

Hari demi hari berlalu. Berkas kami penuhi. Kami menikah di musolah kantor polisi. Oleh penghulu. Kami resmi jadi suami istri. Meskipun tanpa resepsi. Ini, lebih dari cukup untuk mengikat erat kesetiaan kami.

Tidak ada malam pertama. Aku melaluinya dengan tegar. Tanpa sercecah bahagia. Yang terpancar. Hanya satu yang tertanam, di hatiku yang dalam. Aku tidak peduli dengan semuanya.

Saat aku ingin pulang, Yena menghampiriku.
"Kamu harus mengurus perusahaan Sanja!"
"Buat apa? Sanja mendirikan perusahaan itu untuk membantu banyak orang. Sekarang kamu lihat. Apa balasannya?" Ucapku kesal.
"Ada ratusan orang yang nasibnya di tangan kamu Lina. Mereka harus mendapatkan gaji dan juga THR untuk bisa berkumpul dengan keluarganya dan uang itu hanya bisa dicairkan oleh pemilik perusahaan. Kamu!" Jelas Yena.
Aku mengerti betapa sakitnya saat keluarga yang baru kami bangun tidak sesuai harapan. Masa aku tega membuat keluarga mereka juga ikutan merasakan.

Malam itu, aku pergi ke perusahaan Sanja. Banyak sekali para karyawan dan karyawati yang sudah menanti, sambil tersenyum ke arahku. Aku bertanya pelan kepada Yena yang berada disampingku.
"Mereka tahu tentang keadaan Sanja saat ini?" Tanyaku.
"Tidak sama sekali." Balas Yena.

Semua gaji dan THR karyawan dan karyawati aku berikan seperti semestinya. Saat mereka pergi termasuk Yena. Aku tetap sendiri di sini. Di dalam kantor Sanja.

Ayahku menelpon dan memintaku pulang, "Ayah tahu jiwamu hancur tapi bukan berarti kamu biarkan ragamu ikutan hancur."
Ayah mengira aku keluyuran tidak jelas.

Seperti Sanja, aku tidak mengatakan tanggung jawabku sekarang kepada Ayah. Biarlah ayah tetap membayangkanku seperti yang dia pikirkan.

Saat aku ingin pulang menuju mobil Sanja yang terpakir jauh. Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku memilih untuk menerobosnya. Namun aku terjatuh.

Bukannya segera bangkit justru aku terus menangis. Membiarkan tubuhku basah.

Bukan hanya kemalangan. Keanehan juga menimpaku. Entah kenapa hujan tidak lagi mengenai tubuhku. Tetesan hujan hanya berada di sekitarku. Apa yang sebenarnya terjadi...

(Bersambung)

Posting Komentar