Kejadian Mistis Yang Tak Terbayangkan (Part 3)
Meskipun aku tidak menemukan Buna di sekitar pohon angker, tapi aku yakin dia terlibat kejadian mistis yang menyebabkan dua siswa terluka. Karena mereka sebelumnya membully Buna terang-terangan di depanku. Pasti Buna mencelakai mereka diam-diam untuk balas dendam.
Embun Pagi berbaur dengan cahaya mentari menyilaukan pandanganku dari arah samping perpustakan yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aku melihat gerakan di sana membuatku semakin curiga dan menarik perhatianku untuk mencari tahu dengan mendekatinya. Dugaanku terbukti, Buna aku temukan ada di sana.
"Sedang apa kamu dengan membawa balok kayu panjang itu?" Tanyaku seketika.
Dia menatapku, "Aku sedang memperbaiki pagar sekolah!"
Aku masih tidak percaya, "Kalau begitu, tunjukan aku pagar yang rusak itu!"
Buna terlihat berkeringat. Sepertinya dia cemas.
"Ketua!" Seseorang memanggil dan menyentuh bahuku.
Aku berbalik dan sudah bisa ditebak, teman sekelasku yang menyapa. Siapa lagi jika bukan mereka yang menyebutku dengan kata 'ketua'. Kecuali Buna, yang memanggil dengan namaku.
"Kamu mengagetkanku!" Jawabku.
"Aku tidak peduli. Wali kelas memanggilmu." Ucapnya tidak ada sopan-sopannya kepada ketua kelas. Apa karena aku terlalu polos ya.
"Bentar..." Balasku. Sambil melihat ke arah Buna. Tapi dia menghilang.
"Kemana Buna?" Ucapku.
"Cari Buna mulu, sekali-kali cari aku, ketua!" Jawab siswa itu mengodaku.
"Aku bahkan tidak tahu siapa namamu, gara-gara kalian tidak memanggilku dengan namaku. Aku jadi malas mengingat nama dan wajah kalian." Balasku curhat tapi bohong. Karena sebenarnya aku mengingat namanya tapi aku ingin dia sadar. Aku lebih suka namaku di sebut.
Aku menghadap wali kelas.
Belum sempat aku memberikan laporan, wali kelas memberikan dua surat ke aku.
"Mereka yang kecelakaan, izin pulang dirawat di rumah. Ini surat izinnya, kamu arsipkan ke buku kehadiran siswa."
"Iya, pak. Segera saya kerjakan." Aku mengambil surat itu dan segera pergi.
Wali kelas memegang tanganku.
"Tidak perlu buru-buru. Jika diperhatikan dari dekat kamu cantik juga."
Aku jadi gugup, "Makasih pak. Sebentar lagi bel masuk berbunyi." Jawabku. Kemudian tanganku dilepas. Segera aku pergi dan menuju kelas.
Bel hampir berbunyi, semua teman sekelasku masih di luar.
"Apa yang kalian lakukan. Ayo masuk!" Perintahku.
"Mungkin ketua mau olah TKP dulu. Semua bangku di kelas kita terbalik secara misterius sejak pintu kelas dibuka."
Aku segera masuk kelas, dan benar yang diucapkan siswi itu.
"Gak ada waktu. Cepat bantu aku benerin bangkunya." Perintahku lagi.
"Akan seru jika ketua kelas, untuk pertama kalinya dimarahin wali kelas." Ucap siswi lain membuat teman lainnya kompak membiarkan kelas berantakan.
Aku segera masuk kelas dan merapikan bangku sendiri. Tugas ini terlalu berat untukku yang seorang perempuan. Tapi tidak ada waktu buat mengeluh.
"Aduh!" Ucapku kesakitan, tanganku terbentur meja saat betulkan posisi bangku.
Aku melihat masih banyak bangku yang terbalik.
Tiba-tiba ada yang masuk. Habislah aku. Itu pasti guru yang bakalan komplen dengan wali kelas jika mendapati kelas dalam keadaan belum siap.
Dugaanku salah. Yang masuk kelas adalah Buna. Dia dengan cepat membetulkan posisi bangku. Membuatku tercengang.
"Kenapa Enli? diam saja. Cepat suruh mereka masuk. Guru sudah mau ke sini dan kelas sudah ku rapikan."
Aku sadar dari lamunanku dan segera menyuruh semua yang di luar untuk masuk.
Saat waktu istirahat tiba. Semua siswa dan siswi berebut keluar kelas, termasuk wakil ketua kelas yang gak bisa diharapkan sama sekali.
Seperti biasa, aku yang membawa buku para murid ke ruangan guru, jika gurunya perempuan.
"Dasar makan gaji buta." Keluhku menyindir wakil ketua kelas.
Di sekolahku, untuk siswa-siswi yang menjabat di kelas akan diberi honor dari uang kas sekolah. Bisa dikatakan aku digaji di sini bukan sekedar sekolah.
Di kelas menyisakan aku sendiri. Bahkan Buna yang menolongku tadi dan menjadi harapan terakhirku menghilang.
Karena buku menumpuk tinggi dan berat untuk tenaga perempuan sepertiku. Buku akhirnya terjatuh semua. Aku merapikannya. Separo aku tinggalkan untuk ku jemput lagi.
Saat aku menjemput buku itu kembali. Sudah tidak ada di kelas. Aku keluar dan hentikan siswa yang lewat.
"Kenapa kamu pegang-pegang tanganku ketua, naksir aku ya!" Sapanya langsung bikin aku gugup. Kebetulan sekali dia tampan.
"Kamu lihat tumpukan buku di dalam kelas."
"Wah, tadi aku lihat Buna mencurinya, ketua!" Balasnya.
Aku kembali menuju ruang guru.
"Ada apa Enli, kembali lagi?" Tanya guru sesampainya aku di sana.
"Apakah semua buku teman sekelasku lengkap semua bu?" Tanyaku.
"Iya, sudah lengkap. Tadi Buna yang mengantar sisanya." Jawab guru membuatku tersenyum.
Akan sulit untuk cari Buna. Aku jauh lebih penasaran dengan pagar yang dikatakan Buna tadi rusak dan harus dia yang perbaiki. Jadi aku menuju belakang sekolah dekat bangunan perpustakaan.
"Tidak ada pagar yang rusak, Buna benar-benar mencurigakan." Ucapku saat sampai di sana.
"Sudah aku perbaiki, Enli." Ucap Buna yang tiba-tiba muncul di sampingku.
"Kamu muncul tiba-tiba, bukannya sapa dulu. Malah langsung jawab pertanyaanku."
Buna malah mau pergi lagi.
"Kamu mau ke mana, aku masih punya pertanyaan." Ucapku.
"Aku sibuk. Kamu tulis aja pertanyaannya di kertas. Serahkan aku di kelas. Nanti aku jawab dengan jelas." Balasnya kemudian pergi.
Saat aku kejar. Dia menghilang lagi.
Di jam pelajaran terakhir. Aku senang. Bapak guru yang masuk. Jadi aku tidak perlu repot mengantar buku para siswa dan siswi ke ruang guru lagi. Biasanya kalau gurunya laki-laki, dia sendiri yang bawa buku latihan murid.
Menjelang sore, jam pulang baru tiba. Ini karena sekolah kami yang menerapkan full day dari pemerintah.
Semua murid mengumpulkan buku latihan. Bapak guru mengangkut semua buka sambil bilang, "Untuk ketua kelas, antar buku siswa yang belum selesai ngerjakan soalnya ke ruang bapak."
Aku kena sial lagi.
Semua pulang. Kecuali aku dan seorang siswa.
Aku berdiri di hadapannya untuk menunggunya selesai.
"Kok diam. Ayo kerjakan. Udah mendung. Bentar lagi hujan."
"Ketua bikin aku gagal fokus." Ucapnya, baru buatku sadar dia lagi lihat dadaku.
Aku segera duduk.
"Maaf, sekarang silahkan lanjutkan."
"Aku masih sulit konsentrasi, pandangamu memikatku." Ucapnya lama-lama bikin aku kesal.
"Pulanglah Enli, biar aku yang tungguin dia sekalian antar bukunya ke ruang guru." Ucap Buna yang tiba-tiba datang.
"Tapikan, kamu gak jabat apa-apa di kelas. Aku jadi gak enak." Balasku.
"Kamu mau di kelas dengan dua pria di dalamnya." Ucapnya bikin aku gugup.
Aku segera keluar kelas. Saat menuju pagar. Cahaya senja, menyilaukanku. Terlihat sosok tidak jelas di depanku. Sepertinya seorang pria karena bertubuh tegak dan berambut pendek. Dia memberikanku sebuah payung.
Aku menyambutnya. Payung yang terbuka itu menghalangi pandanganku. Saat aku mengangkat payung itu dengan tinggi agar bisa melihat siapa dia. Aku tidak melihat sosoknya lagi. Secara bersamaan. Hujan turun dengan deras. Cahaya senjapun menghilang.
(Bersambung)
Embun Pagi berbaur dengan cahaya mentari menyilaukan pandanganku dari arah samping perpustakan yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aku melihat gerakan di sana membuatku semakin curiga dan menarik perhatianku untuk mencari tahu dengan mendekatinya. Dugaanku terbukti, Buna aku temukan ada di sana.
"Sedang apa kamu dengan membawa balok kayu panjang itu?" Tanyaku seketika.
Dia menatapku, "Aku sedang memperbaiki pagar sekolah!"
Aku masih tidak percaya, "Kalau begitu, tunjukan aku pagar yang rusak itu!"
Buna terlihat berkeringat. Sepertinya dia cemas.
"Ketua!" Seseorang memanggil dan menyentuh bahuku.
Aku berbalik dan sudah bisa ditebak, teman sekelasku yang menyapa. Siapa lagi jika bukan mereka yang menyebutku dengan kata 'ketua'. Kecuali Buna, yang memanggil dengan namaku.
"Kamu mengagetkanku!" Jawabku.
"Aku tidak peduli. Wali kelas memanggilmu." Ucapnya tidak ada sopan-sopannya kepada ketua kelas. Apa karena aku terlalu polos ya.
"Bentar..." Balasku. Sambil melihat ke arah Buna. Tapi dia menghilang.
"Kemana Buna?" Ucapku.
"Cari Buna mulu, sekali-kali cari aku, ketua!" Jawab siswa itu mengodaku.
"Aku bahkan tidak tahu siapa namamu, gara-gara kalian tidak memanggilku dengan namaku. Aku jadi malas mengingat nama dan wajah kalian." Balasku curhat tapi bohong. Karena sebenarnya aku mengingat namanya tapi aku ingin dia sadar. Aku lebih suka namaku di sebut.
Aku menghadap wali kelas.
Belum sempat aku memberikan laporan, wali kelas memberikan dua surat ke aku.
"Mereka yang kecelakaan, izin pulang dirawat di rumah. Ini surat izinnya, kamu arsipkan ke buku kehadiran siswa."
"Iya, pak. Segera saya kerjakan." Aku mengambil surat itu dan segera pergi.
Wali kelas memegang tanganku.
"Tidak perlu buru-buru. Jika diperhatikan dari dekat kamu cantik juga."
Aku jadi gugup, "Makasih pak. Sebentar lagi bel masuk berbunyi." Jawabku. Kemudian tanganku dilepas. Segera aku pergi dan menuju kelas.
Bel hampir berbunyi, semua teman sekelasku masih di luar.
"Apa yang kalian lakukan. Ayo masuk!" Perintahku.
"Mungkin ketua mau olah TKP dulu. Semua bangku di kelas kita terbalik secara misterius sejak pintu kelas dibuka."
Aku segera masuk kelas, dan benar yang diucapkan siswi itu.
"Gak ada waktu. Cepat bantu aku benerin bangkunya." Perintahku lagi.
"Akan seru jika ketua kelas, untuk pertama kalinya dimarahin wali kelas." Ucap siswi lain membuat teman lainnya kompak membiarkan kelas berantakan.
Aku segera masuk kelas dan merapikan bangku sendiri. Tugas ini terlalu berat untukku yang seorang perempuan. Tapi tidak ada waktu buat mengeluh.
"Aduh!" Ucapku kesakitan, tanganku terbentur meja saat betulkan posisi bangku.
Aku melihat masih banyak bangku yang terbalik.
Tiba-tiba ada yang masuk. Habislah aku. Itu pasti guru yang bakalan komplen dengan wali kelas jika mendapati kelas dalam keadaan belum siap.
Dugaanku salah. Yang masuk kelas adalah Buna. Dia dengan cepat membetulkan posisi bangku. Membuatku tercengang.
"Kenapa Enli? diam saja. Cepat suruh mereka masuk. Guru sudah mau ke sini dan kelas sudah ku rapikan."
Aku sadar dari lamunanku dan segera menyuruh semua yang di luar untuk masuk.
Saat waktu istirahat tiba. Semua siswa dan siswi berebut keluar kelas, termasuk wakil ketua kelas yang gak bisa diharapkan sama sekali.
Seperti biasa, aku yang membawa buku para murid ke ruangan guru, jika gurunya perempuan.
"Dasar makan gaji buta." Keluhku menyindir wakil ketua kelas.
Di sekolahku, untuk siswa-siswi yang menjabat di kelas akan diberi honor dari uang kas sekolah. Bisa dikatakan aku digaji di sini bukan sekedar sekolah.
Di kelas menyisakan aku sendiri. Bahkan Buna yang menolongku tadi dan menjadi harapan terakhirku menghilang.
Karena buku menumpuk tinggi dan berat untuk tenaga perempuan sepertiku. Buku akhirnya terjatuh semua. Aku merapikannya. Separo aku tinggalkan untuk ku jemput lagi.
Saat aku menjemput buku itu kembali. Sudah tidak ada di kelas. Aku keluar dan hentikan siswa yang lewat.
"Kenapa kamu pegang-pegang tanganku ketua, naksir aku ya!" Sapanya langsung bikin aku gugup. Kebetulan sekali dia tampan.
"Kamu lihat tumpukan buku di dalam kelas."
"Wah, tadi aku lihat Buna mencurinya, ketua!" Balasnya.
Aku kembali menuju ruang guru.
"Ada apa Enli, kembali lagi?" Tanya guru sesampainya aku di sana.
"Apakah semua buku teman sekelasku lengkap semua bu?" Tanyaku.
"Iya, sudah lengkap. Tadi Buna yang mengantar sisanya." Jawab guru membuatku tersenyum.
Akan sulit untuk cari Buna. Aku jauh lebih penasaran dengan pagar yang dikatakan Buna tadi rusak dan harus dia yang perbaiki. Jadi aku menuju belakang sekolah dekat bangunan perpustakaan.
"Tidak ada pagar yang rusak, Buna benar-benar mencurigakan." Ucapku saat sampai di sana.
"Sudah aku perbaiki, Enli." Ucap Buna yang tiba-tiba muncul di sampingku.
"Kamu muncul tiba-tiba, bukannya sapa dulu. Malah langsung jawab pertanyaanku."
Buna malah mau pergi lagi.
"Kamu mau ke mana, aku masih punya pertanyaan." Ucapku.
"Aku sibuk. Kamu tulis aja pertanyaannya di kertas. Serahkan aku di kelas. Nanti aku jawab dengan jelas." Balasnya kemudian pergi.
Saat aku kejar. Dia menghilang lagi.
Di jam pelajaran terakhir. Aku senang. Bapak guru yang masuk. Jadi aku tidak perlu repot mengantar buku para siswa dan siswi ke ruang guru lagi. Biasanya kalau gurunya laki-laki, dia sendiri yang bawa buku latihan murid.
Menjelang sore, jam pulang baru tiba. Ini karena sekolah kami yang menerapkan full day dari pemerintah.
Semua murid mengumpulkan buku latihan. Bapak guru mengangkut semua buka sambil bilang, "Untuk ketua kelas, antar buku siswa yang belum selesai ngerjakan soalnya ke ruang bapak."
Aku kena sial lagi.
Semua pulang. Kecuali aku dan seorang siswa.
Aku berdiri di hadapannya untuk menunggunya selesai.
"Kok diam. Ayo kerjakan. Udah mendung. Bentar lagi hujan."
"Ketua bikin aku gagal fokus." Ucapnya, baru buatku sadar dia lagi lihat dadaku.
Aku segera duduk.
"Maaf, sekarang silahkan lanjutkan."
"Aku masih sulit konsentrasi, pandangamu memikatku." Ucapnya lama-lama bikin aku kesal.
"Pulanglah Enli, biar aku yang tungguin dia sekalian antar bukunya ke ruang guru." Ucap Buna yang tiba-tiba datang.
"Tapikan, kamu gak jabat apa-apa di kelas. Aku jadi gak enak." Balasku.
"Kamu mau di kelas dengan dua pria di dalamnya." Ucapnya bikin aku gugup.
Aku segera keluar kelas. Saat menuju pagar. Cahaya senja, menyilaukanku. Terlihat sosok tidak jelas di depanku. Sepertinya seorang pria karena bertubuh tegak dan berambut pendek. Dia memberikanku sebuah payung.
Aku menyambutnya. Payung yang terbuka itu menghalangi pandanganku. Saat aku mengangkat payung itu dengan tinggi agar bisa melihat siapa dia. Aku tidak melihat sosoknya lagi. Secara bersamaan. Hujan turun dengan deras. Cahaya senjapun menghilang.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar