Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Kemampuan Yang Mengikat (Part 40)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Kemampuan Yang Mengikat (Part 40)
"Aku akan telpon Yena!" Gumamku.
"Dia ada di sana." Ucap Aya yang ternyata mendengarku.
Segera aku menghampiri Yena.
"Di mana rumah Sanja yang lainnya?" Tanyaku langsung.
"Yang kutahu cuma ini. Bahkan kediaman keluarganya saja aku gak tahu." Jawab Yena.
"Sahabat macam apa kamu. Kamu udah kenal Sanja jauh sebelum aku kenapa tidak mengenal Sanja lebih jauh lagi." Marahku.
Yena hanya membalasnya dengan tangisan.

Sintia tiba-tiba mengirim SMS, "Hita, dia bebas dari penjara. Karena tidak ada bukti. Jadi kamu hati-hati ya."
Sepertinya ada oknum Polisi yang bersekutu dengan Hita yang sengaja menghilangkan barang bukti. Pantas saja HP Sanja tidak pernah kembali. Ini juga mungkin alasan Yena mencegah Sanja kembali kekepolisian.
"Kamu tahu Hita sudah bebas." Tanyaku ke Yena.
"Iya. Semenjak kita bertemu sebelumnya di sini." Jawab Yena.
"Sanja bilang jangan beritahu kamu. Nanti kamu khawatir." Lanjut Yena.

Tubuhku gemetar.
"Kamu tidak perlu cemas dengan keberadaan Hita sekarang. Pasti Sanja akan mengatasinya. Itu janjinya saat itu untuk melindungi kamu." Balas Yena.
"Aku bukan mencemaskan Hita. Aku mencemaskan Sanja. Ku harap dia baik-baik saja." Ucapku.

Aku melihat seekor burung merpati di samping rumah Sanja yang tidak mau beranjak pergi dan hampir terkena puing-puing rumah. Segera aku menyelamatkannya. Aku memeluknya untuk melindunginya.
"Dik, apa yang kamu lakukan itu berbahaya." Ucap pria yang sedang meruntuhkan rumah Sanja. Dia mengusirku kasar untuk menjauh.

Di depanku rumah Sanja rata dengan tanah. Sanja tidak mungkin kembali lagi ke sini.
Aku tertunduk lesu. Dalam benakku berucap, "Seandainya Sanja jodohku temukan kami. Jikapun dia bukan jodohku aku ingin dipertemukan dengannya." Harapku.
Burung Merpati dipelukanku berontak dan pergi terbang ke langit.
Saat aku menghadapkan wajah ke langit, nampak awan terbelah dari timur ke barat. Burung merpati itu terbang ke barat. Di arah sana juga aku menikmati indahnya pemandangan matahari tenggelam.

Aku terpikirkan sesuatu, "Aya, ayo kita pergi ke arah Senja."
"Maksudmu ke barat. Buat apa?" Tanya Aya.
"Sudahlah ikuti saja. Aku kan sudah ikuti kamu." Balasku.

Kami pergi menuju Senja dan berhenti di depan hutan.
"Kalau kita jalan terus. Kita terjun ke jurang. Di balik hutan itu ada jurang." Ucap Aya.
Aku justru masuk ke dalam hutan itu perlahan. Setelah melewati rumput lebat dan beberapa pohon aku di hadapkan dengan tanah lapang cukup luas di pinggir tebing.
Ada seorang pemuda dengan jubah panjangnya yang berwarna putih di ujung tebing dan menghadap ke lautan luas.
Aku mendekatinya dengan yakin.
"Sanja!" Ucapku dari belakang.
Pemuda itu berbalik ke arahku, "Biasanya aku yang selalu menemuimu, sekarang kamu yang menemuiku." Ucap Sanja.
Aku bingung harus berkata apa. Aku coba menanyakan tentang Hita. Tapi tiba-tiba Sintia SMS aku lagi, "Kamu tidak perlu takut tentang Hita, aku ada di rumahnya. Dia stroke, tidak bisa bicara dan bergerak. Kejadiannya baru saja secara tiba-tiba."

Pantas Sanja terlihat tenang saja. Di sela-sela cahaya matahari tenggelam aku melihat secara samar-samar bayangan putih masuk ke dalam tubuh Sanja, sekilas aku melihat kembali Sanja mempunyai sayap kemudian sayap itu menghilang.

"Di bawah tebing ini. Ada Hana!" Ucap Sanja.
Aku mencoba lebih dekat dengan Sanja. Lalu menoleh ke bawah. Ada tulang belulang yang sangkut di tengah tebing. Jadi Hana sudah lama tewas. Aku terdiam heran.
"Inilah alasanku mempertahankan kemampuan ini. Hanya aku yang bisa menolong mereka yang bergentayangan untuk tenang di alam sana. Hana tidak sengaja terjatuh dan tidak ada yang menemukannya hingga tewas." Ucap Sanja.

"Jadi siapa yang duluan ngajak balikan?" Ucap Aya tiba-tiba. Sepertinya Sintia bilang ke Aya tentang kondisi hubunganku saat ini.

Pertanyaan Aya membuka ingatanku dulu, "Saat awal-awal kita saling mengenal. Kamu berbohong bersama denganku mengenai siapa yang mengejar duluan. Itu artinya kamu berbohong tentang persyaratan untuk menggunakan kemampuan itu." Ucapku kepada Sanja.
"Aku punya pilihan saat itu. Mempertahankan kemampuan berbohong untuk menyembunyikan identitasku sebenarnya atau mempertahankan rasa cintaku kepada seseorang." Balas Sanja.
"Kamu bilang tidak bisa menyukai seseorang?" Tanyaku lagi.
"Mencintai berbeda dengan menyukai. Semenjak kamu cemburu denganku. Aku tahu kamu tidak main-main. Seumur hidupku hanya kamu gadis yang menghampiriku duluan." Ucap Sanja.
"Jika kamu mencintaiku. Terus kenapa kamu mengakhiri hubungan kita?"
"Aku akan tetap setia dan tidak akan pernah mengkhianatimu. Aku bersedia tidak menikah dengan wanita lain selama aku hidup. Tapi kamu tidak terikat dengan kemampuan aneh seperti aku ini, jadi berhak bahagia dengan menikahi laki-laki lain." Balas Sanja bikin tubuku lemas.

Aku memejamkan mataku berusaha menahan air mata ini. Tertunduk di hadapan Sanja.
"Jika kamu bisa memilih. Aku juga. Aku memilih mengubur impianku mempunyai anak. Jadi, ku mohon, tetaplah bersamaku, berikan kehangatanmu untukku." Ucapku berharap Sanja kembali dan memelukku.

Lamaku menunggu hingga hujan menghampiriku dari belakang. Aku menangis dan air mataku berbaur dengan air hujan.

Tubuhku tiba-tiba hangat. Aku beranikan diri membuka mata berharap ini bukan ilusi. Tapi Sanja tidak memelukku. Dia hanya memberikan jubahnya di pundakku. Sanja hanya berdiri di hadapanku.
Air mataku mengalir deras tapi aku yakin Sanja tidak menyadarinya karena air hujan ini.

"Inilah janji baruku padamu. Yang tidak bisa kuingkari. Aku berjanji akan mengikatmu dalam tali pernikahan, hanya kamu pasanganku, hingga ajal menjemput." Ucap Sanja.

(Tamat)

Posting Komentar