Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Membiayai Rumah Sakit Angker (Part 27)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Membiayai Rumah Sakit Angker (Part 27)
Cuma aku yang merasa takut, adik Sintia biasa saja mungkin karena dia masih kecil jadi tidak mengerti apa artinya seram, Sanja sudah pasti tidak takut dengan hal ghaib seperti ini karena dia aja udah mistis, dan aku tidak yakin Aya yang sekarang adalah temanku karena terlihat aneh memakai pakaian serba putih kayak arwah penasaran saja, padahal Aya yang kukenal tidak suka warna putih.

"Maaf, aku bikin kamu takut berada di sini. Ini rumah sakit terdekat. Sintia harus segera di tolong." Ucap Sanja.
"Tidak masalah. Apapun harus dilakukan agar Sintia selamat." Balasku.

Saat kami keluar dari mobil, penampakan bangunan rumah sakit sudah terlihat sangat tua, dengan lumut di dindingnya, dan rumput tinggi di halamannya. Bahkan saat kami tiba tidak ada perawat yang menyambut. Sampai-sampai Sanja yang harus membawa Sintia masuk ke dalam bangunan rumah sakit baru ada seorang perawat menghampiri, itupun perawat yang bertugas jaga seorang diri keluar dari ruangnya dan membawa ranjang pasien.
Perawat wanita itu terlihat sangat muda, "Silahkan baringkan di sini dan ikuti aku." Katanya.
Perawat itu bukannya membantu mendorong justru cuma berjalan di depan, "Silahkan masuk di kamar itu. Aku akan panggil dokter." Katanya sambil menunjuk ke kamar nomor 13 tanpa menanyakan identitas ataupun biaya.

Ruangannya tampak bersih. Tidak beberapa lama seorang dokter dan perawat masuk.
"Kamu Yena?" Tanyaku langsung saat melihat wajah dokter itu.
"Dokter Yena tepatnya." Balas perawat pria di sampingnya.
Aku simpan pertanyaanku. Memberi kesempatan Yena mengobati luka di kepala Sintia. Setelah selesai Yena menghampiriku.
"Aku berkerja di sini." Ucapnya.
Sanja terlihat sudah tahu. Tiba-tiba telponnya berbunyi. Dia cuma mengangkat telpon sebentar kemudian mematikannya.
"Aku akan pergi, Ada keperluan mendadak." Ucap Sanja.
"Pergi kemana?" Tanyaku.
"Kerja." Balasnya lalu bicara ke Yena, "Yena kita tukaran kendaraan, aku pakai motormu, kamu bisa pakai mobilku."
Setelah tukaran kunci Sanja lalu pergi.
Apa Sanja bekerja pekerjaan lamanya bikin Skripsi orang atau sudah dapat pekerjaan dibantu oleh Yena saat kemaren. Lamunanku disadarkan oleh perawat wanita yang tadi mengantar kami, masuk ke ruangan, "Dokter, ada pasien yang mau bertemu dengan anda."
Yena lalu ke luar ruangan. Aku mengikutinya. Meninggalkan Aya yang pendiam, adik Sintia yang terus memegangi tangan kakaknya yang terbaring, dan perawat pria yang menenangkan adik Sintia.

Di luar ruangan ada wanita tua bersama pemuda. Yena menyambut mereka dengan senyum, "Ibumu masih sanggup berjalanan? Sebaiknya gunakan saja kursi roda kami."
Pemuda itu menjabat tangan Yena, "Sudah cukup dok bantuannya. Saya sangat berterima kasih telah membuat ibu saya sehat. Saya janji akan membayarnya kapan-kapan jika sudah punya uang."
"Tidak perlu sekaligus, berangsur-angsur saja. Tidak perlu dipikirkan masalah biaya karena tidak ada batas waktu di sini." Ucap Yena.
"Bawakan kursi roda." Perintah Yena kepada perawat wanita di sampingnya.
"Baik dok."' Balas perawat itu lalu pergi.

"Lina, kamu sudah kabari orang tuanya Sintia?" Tanya Yena ke aku.
Segera aku menghubungi orang tua Sintia, memberitahu anaknya yang hilang sudah ditemukan dan alamat Sintia yang terluka dirawat. Setelah selesai telponnya aku bicara lagi ke Yena.
"Ibunya akan datang ke sini."
Perawat wanita tadi datang membawa kursi roda dan menyerahkannya ke si pemuda. Pemuda itu menaikan ibunya di kursi roda. Mereka lalu pergi. Tinggal aku dan Yena di lorong rumah sakit ini.
"Pembayaran tadi tidak menguntungkan rumah sakit ini. Apa pemerintah memberi bantuan?" Tanyaku.
"Ini swasta. Biaya dari pasien tentu tidak cukup. Itu sebabnya pegawai di sini sangat sedikit. Gaji kami, biaya alat dan obat-obatan ditanggung oleh seorang pengusaha yang sampai saat ini kami tidak tahu dia siapa?" Terang Yena.
"Apa pekerjaan Sanja?" Tanyaku kepikiran kenapa dia bisa punya mobil dan apakah dia pengusaha.
"Dia Intel di kepolisian." Jawab Yena pelan.
Sekarang aku tahu, kenapa dia bisa menghentikan orang-orang membullyku di sekolah waktu itu.
"Apa kamu yang bantu dia dapat pekerjaan itu?" Tanyaku lagi.
"Yang ada dia yang bantu biayai aku kuliah kedokteran dan aku bisa menjadi sekarang mewujudkan cita-citaku." Balas Yena.
Jadi ini alasannya Yena selalu patuh dengan Sanja.
"Maksudmu, kamu teman lama Sanja?" Tanyaku.
"Aku satu kelas dengan Sanja saat SMP. Kita tidak saling kenal. SMA kami berbeda. Lulus SMA, Sanja berkenalan denganku..." Belum sempat Yena menyelesaikan bicaranya.

Lampu lorong tiba-tiba mati seketika dan membuat tempat aku dan Yena gelap gulita. Suara geraman sesuatu terdengar dari bawah tanah.

(Bersambung)

Posting Komentar