Memelihara Tanpa Mengurung (Part 33)
Aku benar-benar direpotkan dengan prasangkaku. Jika aku bilang, aku gak pesan boneka, Sintia nanti tersinggung, persahabatan kami bisa hancur. Jika aku bilang, iya aku pesan boneka, lalu Sintia bilang aku mau memata-matai Sanja, hubunganku dengan pacarku yang bisa hancur. Aku bingung harus pilih apa?
Masa iya Sintia tega bongkar keburukan sahabatnya sendiri tapi aku tahu dia juga punya alasan karena suka dengan Sanja.
"Lama sekali kamu berpikirnya? Itu boneka benar yang kamu pesan!" Ucap Aya.
Aku lihat Sanja masih bisa menunggu, tapi untuk sahabatku yang itu mana mungkin bisa nunggu.
Aku menyambut boneka dari Sintia. Lalu memberikannya ke Sanja berharap Sintia tidak bilang apa-apa.
"Ini untukku?"' Tanya Sanja menyakinkan.
"Iya untukmu. Apa kamu tidak suka!" Ucapku aneh, padahal aku tahu yang namanya laki-laki mana mungkin suka boneka. Ini ide terburukku.
Sanja menyambut boneka dariku. Dia diam. Aduh, aku baru ingat Sanja tidak bisa berbohong.
"Apapun yang kamu berikan, aku menyukainya." Jawab Sanja tidak mau menyinggung perasaanku.
"Aku tidak tahan melihat adegan seperti ini. Bikin iri saja." Ucap Aya lalu pergi.
"Meskipun Lina memberikan sesuatu yang jahat ke kamu. Apa akan kamu terima, Sanja?" Ucap Sintia, seperti yang kuduga dia akan membongkar keburukanku. Aku bingung menanggapinya bagaimana.
"Maaf, kita harus bergegas, Lina!" Ucap Sanja sambil melihat jam tangannya.
"Oh, iya. Tadi kamu tanya apa, Sintia?" Tanya Sanja.
"Ayo kita pergi." Potongku untuk menghindari Sintia.
"Tolong masukan ke dalam mobilku ya!" Perintah Sanja ke Yena sambil memberikan boneka dariku.
Kami lalu pergi.
"Ada apa Sanja?" Tanyaku.
"Ayah tidak punya waktu banyak untuk kita." Jawab Sanja. Aku mulai berpikiran buruk tentang Ayah Sanja. Apa beliau sedang sakit. Aku tidak bertanya lagi dan mengikuti Sanja.
Meski kami lagi terdesak harus cepat sampai, tapi Sanja tidak membawa motornya dengan ngebut.
"Kenapa kita tidak kebut saja?" Tanyaku.
"Aku harus jamin keselamatanmu. Ibumu sudah menitipkan kepercayaannya padaku." Ucap Sanja.
Ternyata malam tadi Sanja bukan hanya sekedar ketemu ibu. Sepertinya mereka bicara banyak.
Kami sampai di daerah pegunungan. Ada perempatan, salah satu jalan buntu. Di jalan itu di sampingnya terdapat rumah terbuat dari kayu, satu-satunya rumah yang ada di sana. Sisanya hanya pepohonan. Kami berhenti di depan rumah sederhana itu. Ada seorang laki-laki yang berdiri di depan pagar. Terlalu muda untuk disebut ayahnya Sanja.
"Ayah sudah pergi. Beliau sibuk." Ucap pemuda itu.
Sanja terlihat sedih.
"Maaf!" Aku dan Sanja bicara bersamaan.
"Maaf, gara-gara aku tadi ya, lama bicara dengan Sintia, ayahmu pergi duluan." Ucapku lagi.
"Aku yang minta maaf, tidak bisa mempertemukanmu dengan ayahku." Sambung Sanja.
"Jadi, dia yang ingin kakak kenalkan?" Sambung si pemuda.
"Iya, dik. Namanya kak Lina." Balas Sanja.
"Ini adikku, namanya Zena." Ucap Sanja ke aku.
"Salam kenal dik, saya kekasih kakakmu!" Ucapku sambil menyambut salam Zena.
"Bentar kak, saya mau bicara empat mata sama kak Sanja." Ucap Zena sambil menarik tangan kakaknya menjauh dariku.
Aku memperhatikan rumah Sanja. Halamannya dipenuhi dengan tanaman bunga. Di samping kiri rumahnya ada padang rumput seperti lapangan bola dalam versi kecil. Aku melihat ada burung Gagak dan juga Merpati yang berkeliaran bebas. Apa burung peliaraan Sanja lepas dari kurungannya. Aku mendekati Sanja dari belakang untuk memberitahunya. Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan Sanja dengan adiknya.
"Ayah berpesan, jika kakak tidak punya pekerjaan sebaiknya jangan pacaran dulu." Ucap Zena.
Sanja berbalik ke arahku. Diikuti Zena.
"Kalau begitu, saya pulang!." Ucap Zena.
"Jangan lupa jaga anak orang ya kak." Ucap Zena lagi lalu pergi.
Sanja terlihat tanpa emosi.
"Kamu pasti bingung, yang mana adik, yang mana kakak. Justru adikku sendiri yang menasehatiku." Ucap Sanja.
Keluarga Sanja benar-benar aneh menurutku.
"Dia ikut ayah, dia membantu usaha bengkel motor ayah, dia punya keahlian di sana, sedangkan aku tidak. Dia selalu unggul dariku." Ucap Sanja curhat melihatku cuma diam.
"Dia cuma unggul dalam mendapatkan hati ayahmu." Balasku.
"Tidak juga, dia punya banyak teman, sedangkan aku tidak, dia punya pekerjaan di perusahaan, aku tidak..." Balas Sanja langsung kupotong.
"Bukannya kamu punya pekerjaan?" Tanyaku.
"Aku sudah di pecat dari kepolisian, padahal baru bekerja sebentar." Ucapnya bikin aku kaget.
"Aku dengar dari Yena kamu punya aset yang menghasilkan uang."
"Itu bukan pekerjaan tapi usaha. Saat ini aku tidak berguna bagi ayah. Ayah selalu bertanya ke aku, sudah dapat pekerjaan, disaat aku tidak dapat pekerjaan."
"Tapi itu sama-sama menghasilkan uang. Kamu hanya bilang ke ayahmu untuk diakui." Aku memberikan saran.
"Apa yang akan aku bilang nanti, karena usahaku langsung besar, aku bahkan dari awal tidak melewati proses dari kecil seperti orang-orang. Ayah akan menuduhku pakai cara kotor."
"Kok bisa kamu punya usaha yang langsung besar?" Tanyaku heran.
"Tadi kamu menghampiri kami, mau bilang apa?" Tanya Sanja balik.
Aku baru ingat, "Burung peliharaanmu tadi aku lihat lepas?"
Aku menarik tangan Sanja mendekati pagar rumah dan menunjuk ke samping kiri rumahnya. Tapi kedua burung itu sudah menghilang. Aku lagi-lagi ceroboh, tidak bilang langsung.
Sanja membuka pagar rumahnya dan balik menarikku menuju samping kiri rumahnya.
"Aku akan memperlihatkan sesuatu padamu?" Ucap Sanja.
Sanja menjulurkan kedua tangannya. Tiba-tiba ada yang terbang mengarah ke kami dari langit. Seekor burung Merpati menghampiri dan bertengger di tangan kanan Sanja. Sedangkan seekor burung Gagak bertengger di tangan kiri Sanja.
"Kedua burung ini aku pelihara, tapi aku tidak perlu mengurungnya." Ucap Sanja.
"Kok bisa?" Tanyaku penasaran.
(Bersambung)
Masa iya Sintia tega bongkar keburukan sahabatnya sendiri tapi aku tahu dia juga punya alasan karena suka dengan Sanja.
"Lama sekali kamu berpikirnya? Itu boneka benar yang kamu pesan!" Ucap Aya.
Aku lihat Sanja masih bisa menunggu, tapi untuk sahabatku yang itu mana mungkin bisa nunggu.
Aku menyambut boneka dari Sintia. Lalu memberikannya ke Sanja berharap Sintia tidak bilang apa-apa.
"Ini untukku?"' Tanya Sanja menyakinkan.
"Iya untukmu. Apa kamu tidak suka!" Ucapku aneh, padahal aku tahu yang namanya laki-laki mana mungkin suka boneka. Ini ide terburukku.
Sanja menyambut boneka dariku. Dia diam. Aduh, aku baru ingat Sanja tidak bisa berbohong.
"Apapun yang kamu berikan, aku menyukainya." Jawab Sanja tidak mau menyinggung perasaanku.
"Aku tidak tahan melihat adegan seperti ini. Bikin iri saja." Ucap Aya lalu pergi.
"Meskipun Lina memberikan sesuatu yang jahat ke kamu. Apa akan kamu terima, Sanja?" Ucap Sintia, seperti yang kuduga dia akan membongkar keburukanku. Aku bingung menanggapinya bagaimana.
"Maaf, kita harus bergegas, Lina!" Ucap Sanja sambil melihat jam tangannya.
"Oh, iya. Tadi kamu tanya apa, Sintia?" Tanya Sanja.
"Ayo kita pergi." Potongku untuk menghindari Sintia.
"Tolong masukan ke dalam mobilku ya!" Perintah Sanja ke Yena sambil memberikan boneka dariku.
Kami lalu pergi.
"Ada apa Sanja?" Tanyaku.
"Ayah tidak punya waktu banyak untuk kita." Jawab Sanja. Aku mulai berpikiran buruk tentang Ayah Sanja. Apa beliau sedang sakit. Aku tidak bertanya lagi dan mengikuti Sanja.
Meski kami lagi terdesak harus cepat sampai, tapi Sanja tidak membawa motornya dengan ngebut.
"Kenapa kita tidak kebut saja?" Tanyaku.
"Aku harus jamin keselamatanmu. Ibumu sudah menitipkan kepercayaannya padaku." Ucap Sanja.
Ternyata malam tadi Sanja bukan hanya sekedar ketemu ibu. Sepertinya mereka bicara banyak.
Kami sampai di daerah pegunungan. Ada perempatan, salah satu jalan buntu. Di jalan itu di sampingnya terdapat rumah terbuat dari kayu, satu-satunya rumah yang ada di sana. Sisanya hanya pepohonan. Kami berhenti di depan rumah sederhana itu. Ada seorang laki-laki yang berdiri di depan pagar. Terlalu muda untuk disebut ayahnya Sanja.
"Ayah sudah pergi. Beliau sibuk." Ucap pemuda itu.
Sanja terlihat sedih.
"Maaf!" Aku dan Sanja bicara bersamaan.
"Maaf, gara-gara aku tadi ya, lama bicara dengan Sintia, ayahmu pergi duluan." Ucapku lagi.
"Aku yang minta maaf, tidak bisa mempertemukanmu dengan ayahku." Sambung Sanja.
"Jadi, dia yang ingin kakak kenalkan?" Sambung si pemuda.
"Iya, dik. Namanya kak Lina." Balas Sanja.
"Ini adikku, namanya Zena." Ucap Sanja ke aku.
"Salam kenal dik, saya kekasih kakakmu!" Ucapku sambil menyambut salam Zena.
"Bentar kak, saya mau bicara empat mata sama kak Sanja." Ucap Zena sambil menarik tangan kakaknya menjauh dariku.
Aku memperhatikan rumah Sanja. Halamannya dipenuhi dengan tanaman bunga. Di samping kiri rumahnya ada padang rumput seperti lapangan bola dalam versi kecil. Aku melihat ada burung Gagak dan juga Merpati yang berkeliaran bebas. Apa burung peliaraan Sanja lepas dari kurungannya. Aku mendekati Sanja dari belakang untuk memberitahunya. Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan Sanja dengan adiknya.
"Ayah berpesan, jika kakak tidak punya pekerjaan sebaiknya jangan pacaran dulu." Ucap Zena.
Sanja berbalik ke arahku. Diikuti Zena.
"Kalau begitu, saya pulang!." Ucap Zena.
"Jangan lupa jaga anak orang ya kak." Ucap Zena lagi lalu pergi.
Sanja terlihat tanpa emosi.
"Kamu pasti bingung, yang mana adik, yang mana kakak. Justru adikku sendiri yang menasehatiku." Ucap Sanja.
Keluarga Sanja benar-benar aneh menurutku.
"Dia ikut ayah, dia membantu usaha bengkel motor ayah, dia punya keahlian di sana, sedangkan aku tidak. Dia selalu unggul dariku." Ucap Sanja curhat melihatku cuma diam.
"Dia cuma unggul dalam mendapatkan hati ayahmu." Balasku.
"Tidak juga, dia punya banyak teman, sedangkan aku tidak, dia punya pekerjaan di perusahaan, aku tidak..." Balas Sanja langsung kupotong.
"Bukannya kamu punya pekerjaan?" Tanyaku.
"Aku sudah di pecat dari kepolisian, padahal baru bekerja sebentar." Ucapnya bikin aku kaget.
"Aku dengar dari Yena kamu punya aset yang menghasilkan uang."
"Itu bukan pekerjaan tapi usaha. Saat ini aku tidak berguna bagi ayah. Ayah selalu bertanya ke aku, sudah dapat pekerjaan, disaat aku tidak dapat pekerjaan."
"Tapi itu sama-sama menghasilkan uang. Kamu hanya bilang ke ayahmu untuk diakui." Aku memberikan saran.
"Apa yang akan aku bilang nanti, karena usahaku langsung besar, aku bahkan dari awal tidak melewati proses dari kecil seperti orang-orang. Ayah akan menuduhku pakai cara kotor."
"Kok bisa kamu punya usaha yang langsung besar?" Tanyaku heran.
"Tadi kamu menghampiri kami, mau bilang apa?" Tanya Sanja balik.
Aku baru ingat, "Burung peliharaanmu tadi aku lihat lepas?"
Aku menarik tangan Sanja mendekati pagar rumah dan menunjuk ke samping kiri rumahnya. Tapi kedua burung itu sudah menghilang. Aku lagi-lagi ceroboh, tidak bilang langsung.
Sanja membuka pagar rumahnya dan balik menarikku menuju samping kiri rumahnya.
"Aku akan memperlihatkan sesuatu padamu?" Ucap Sanja.
Sanja menjulurkan kedua tangannya. Tiba-tiba ada yang terbang mengarah ke kami dari langit. Seekor burung Merpati menghampiri dan bertengger di tangan kanan Sanja. Sedangkan seekor burung Gagak bertengger di tangan kiri Sanja.
"Kedua burung ini aku pelihara, tapi aku tidak perlu mengurungnya." Ucap Sanja.
"Kok bisa?" Tanyaku penasaran.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar