Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Mendekatinya Dijauhi Lainnya (Part 5)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Mendekatinya Dijauhi Lainnya (Part 5)
Hidupku tidak senormal yang ku ingin. Kehilangan teman dan bahkan sahabatku pergi satu persatu akibat perang dingin. Hanya Sanja harapanku yang sekarang ku renungkan kini. Kedatangannya yang tidak kunjung tiba bikin kuresah tak terbendung. Ku takut bukan hanya aku yang kecewa tapi orang tuaku yang merupakan alasan kuhidup juga ikut merasakan. Rasa sakit hati yang hancur berkeping-keping. Jika Sanja benar tidak datang.

Sepasang kupu-kupu putih dan hitam berhasil membuat kuiri. Terbang berkeliling di sekitarku dengan ceria. Seakan lagi ngejekku yang lagi sendiri.

Pandangan teralih ke arah burung Merpati yang terbang ke arahku. Aku mengulurkan tanganku, dan Merpati itu hinggap.
"Di mana tuanmu?" Tanyaku udah putus asa.
Kepala Merpati menghadap ke arah pagar kemudian terbang ke sana.

Aku tersenyum meski kesal. Sanja terlihat di luar pagar dengan motornya. Aku menghampiri dan segera membuka pagar.
"Maaf lama, tadi aku harus menenangkan diri dulu. Emosiku memuncak siang tadi. Aku bertekad untuk menghilangkan emosiku selamanya." Ucap Sanja dengan senyuman tanpa beban.
"Berhenti melakukan yang aneh-aneh. Seharusnya aku suruh kamu janji datang jam sekian. Tapi tidak terpikirkan olehku. Jadi ini juga salahku." Balasku tidak menyalahkan Sanja.
"Masuklah, bawa juga motormu ke halaman." Ucapku lagi.

Di depan rumah, kedua orang tuaku menyambut kedatangan Sanja yang dibalas salam olehnya.
"Maaf om, tadi mau jemput Ayah dan adik saya, jadi agak lama. Tapi mereka tidak bisa ke sini."
Ucap Sanja, beda yang dia katakan tadi saat denganku. Apa ini alasan sebenarnya. Atau keduanya adalah alasan yang benar, mengingat dia tidak bisa berbohong.
"Iya tidak apa-apa, nanti kamu bilang ke keluargamu. Keputusan yang kita dapat hari ini." Balas Ayahku.

Kami berempat makan di ruang tamu.
"Aku yang masak, moga kamu suka." Ucapku.
"Tidak enak. Tapi aku akan tetap habiskan kok." Balas Sanja bikin aku terperangah.
Ayah malah ketawa, "Haha, kamu benar-benar jujur Sanja. Jarang om ketemu pemuda kayak kamu. Biasanya pemuda kenalan Lina berkata manis tapi om tahu dia bohong demi mendapatkan yang diinginkan."
"Udah Lina jangan cemberut gitu, nanti kamu kan bisa sesuaikan dengan selera Sanja." Saran Ibu.
Aku baru sadar Sanja tidak bisa berbohong.
"Maaf ya om, tante. " Ucap Sanja gak enak.
"Sama aku enggak minta maaf?. Aku yang paling tersakiti." Ucapku.
"Aku janji. Selamanya tidak akan melakukan kekerasan padamu." Balas Sanja.
Meski jawabannya tidak sesuai dengan yang aku katakan. Tapi aku sangat senang dia berjanji seperti itu. Mengingat dia selain tidak bisa berbohong juga tidak bisa ingkar janji.

Selesai makan. Ayah berencana bicara empat mata dengan Sanja di ruang keluarga. Sanja sudah menunggu di sana. Ibu dan aku sedang di dapur cuci piring. Setelah selesai cuci piring aku menunggu di antara dapur dan ruang keluarga. Saat Ayah ingin masuk ke ruang keluarga, Aku menahan tangan ayah.
"Ayah, jangan beri persyaratan sulit ya sama Sanja." Mohonku.
"Ayah ingin yang terbaik untukmu." Balas Ayah.

"Bu, ajak Lina masuk kamar." Ucap Ayah lagi saat melihat Ibu datang.

Di kamar ibu menemaniku.
"Seandainya kamu hidup dengan Sanja, ibu harap. Kamu bisa diandalkan olehnya. Apapun yang terjadi ibu tidak ingin mendengar kata perceraian nanti. Buat harga dirimu tinggi. Jika cerai nikah cerai nikah. Apa bedanya dengan pelacur." Ibu menasehatiku.
Pikirku selama Sanja tidak melakukan kekerasan, aku pasti akan setia dengannya.
"Saya tidak akan bikin ibu malu. Saya sangat beruntung dipertemukan dengan Sanja meski dia aneh." Balasku.
"Aneh bagaimana?" Tanya Ibu bikin aku bingung jawab apa. Masa aku bilang, Sanja terkena penyakit tidak bisa bohong, ingkar janji, dan mengkhianati. Ibu tidak mungkin percaya.
"Apapun kekurangan Suamimu nanti. Kamu harus belajar menerimanya." Ucap ibu lagi melihatku cuma diam.
Kekurangan gimana, itu menurutku kelebihannya.
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Senyum-senyum sendiri gitu." Ucap Ibu. Aku kembali tidak sadar tersenyum.

"Ibu temani Ayah dulu. Entar gak kebagian bikin syarat buat Sanja." Ucap Ibu, lalu pergi, buat aku semakin cemas.

Cukup lama aku di dalam kamar. Apa saja yang Ayah dan Ibu bicarakan bikin aku penasaran. Tidak beberapa lama ibu datang.
"Lina, kamu sudah boleh ke ruang keluarga."

Di sana kami seperti di sidang.
"Kamu serius dengan Sanja, apa yang membuatmu yakin!" Tanya Ayah.
"Dia baik, ayah." Balasku.
"Sanja ingin kamu tinggal bersamanya setelah menikah. Apa kamu siap berpisah dengan ayah dan ibu." Tanya ibu.
Aku terdiam, berat rasanya.
"Aku sudah bangun rumah yang baru. Berbeda dari yang pernah kamu kunjungi dulu. Aku sesuaikan dengan yang kamu ingin." Ucap Sanja.
"Ayah dan Ibu akan mengunjungimu." Ucap Ibu.
"Sanja sudah menyanggupi persyaratan Ayah dan Ibu. Cuma itu syarat yang diinginkan Sanja. Keputusan ada di kamu, Lina." Sambung Ayah.
Sebenarnya, saat aku tahu rumah Sanja tidak seram aku sudah mau. Tapi ibu dan ayah tidak memberikan kesempatanku bicara.
"Menikah, artinya kamu menyatakan diri sudah dewasa." Ucap ayah lagi.
"Iya, aku bersedia Ayah." Sambungku cepat.

Sanja mengeluarkan sepasang cincin dari sakunya.
Dia memasangkannya ke jari manis tangan kiriku. Aku juga memasangkannya ke Sanja.

Sanja kemudian pamit. Aku mengantarnya sampai keluar pagar.
"Sanja, sarat apa aja yang orang tuaku pinta?" Tanyaku penasaran.
"Bukan harta maupun benda, tidak sulit bagi orang lain. Tapi untukku itu sulit." Jawab Sanja bikin aku penasaran.
"Sebutin syaratnya!" Tanyaku kesal.

(Bersambung)

Posting Komentar