Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Mengetahui Dari Jarak Jauh (Part 35)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Mengetahui Dari Jarak Jauh (Part 35)
Yena yang nyelonong masuk ke rumah Sanja telihat panik. Apa dia kaget melihatku ada di sini?
"Maaf, apa aku ganggu kalian berduaan." Ucap Yena.
Kali ini aku yang panik Yena berpikiran yang tidak-tidak, "Kami bukan berduan seperti yang kamu kira!"
"Aku tidak lihat ayah Sanja di sini. Beliau ada di mana?" Tanya Yena. Bukannya seharusnya aku yang menyudutkannya karena masuk tanpa izin malah dia menyudutkanku.
"Iya, kami memang lagi berdua saja. Ayah dan adikku sudah pulang." Ucap Sanja memperburuk keadaan.
"Sanja!, jangan bikin aku gampangan di depan orang." Marahku.
Bikin Sanja diam karena takut salah berkata-kata lagi.
"Kami cuma ngobrol saja. Kamu kenapa masuk tanpa ngetok pintu dulu." Ucapku.
"Pintunya gak terkunci jadi aku masuk." Balas Yena.
Pintu tidak terkunci karena ada aku di dalam, tapi itu tetap bukan alasan yang tepat.
"Ada perlu?" Ucap Sanja.
"Oh iya. Aku lupa tujuanku. Tadi ada anggota polisi yang datang ke rumahku dan mencarimu. Aku panik dan mendatangi kediamanmu saat mereka pergi." Balas Yena.

Kami bertiga lalu keluar rumah. Seakan tidak cukup, aku kembali kaget.
"Kejutan!" Ucap Aya yang tiba-tiba muncul di balik pintu keluar.
"Bukannya kamu diculik." Balasku.
"Aku bohong." Balas Aya.
Aku melihat ekspresi Sanja. Terlihat kaget.
"Sanja!" Tegurku karena dia bengong.
"Oh...iya!" Balas Sanja lalu mengeluarkan HPnya untuk menelpon.
"Mengenai teman saya yang hilang, dia sudah ditemukan." Ucap Sanja kemudian menutup telponnya.
"Aku sudah kirim fotomu kepolisian, beruntung mereka belum sampai ke alamat yang kamu kirim tadi, rumah ayahmu, dan juga ibumu." Balas Sanja.
"Maaf, aku gak terpikir bakalan seperti ini dampaknya." Balas Aya.
"Ku harap kamu punya alasan yang bagus?" Ucapku.
"Ada cowo yang mau ketemuan sama aku, jadi aku minta temenin kamu. Yena mau kerja dan Sintia ada urusan." Balas Aya.

"Aku pinjam Sanja bentar ya!" Ucap Yena tiba-tiba.
"Iya silahkan." Jawabku.
Yena membawa Sanja menjauh dariku dan Aya. Mereka berdua sedang membicarakan sesuatu. Aku memperhatian mereka dari jauh. Yena terlihat marah. Dia lalu menangis. Sanja menghapus air mata Yena. Memegang pundaknya dan bicara. Apapun yang dibicarakan Sanja itu membuat Yena tegar.

Sanja menghampiri kami lalu diikuti Yena.
"Kalau begitu aku duluan ya." Pamit Yena sambil merebut kunci motor Sanja dan meninggalkan kunci mobil Sanja.
Kali ini Yena yang bawa motor Sanja.

"Kamu apakan Yena sampai begitu?" Tanyaku.
"Kamu lihat, aku tidak melakukan kekerasan dan aku rasa tidak ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya." Balas Sanja.

Entah kenapa Sanja terlihat tidak senang.
"Aku harus bertugas!" Pamit Sanja.
"Aku bawa motor sendiri, biar Lina ikut aku." Ucap Aya.
"Kamu tidak kenapa-kenapakan, Sanja?" Tanyaku khawatir.
Sanja cuma diam.
"Kalau kamu punya firasat tidak enak sebaiknya jangan lakukan." Lanjutku.
"Kamu sebenarnya bertugas apa Sanja? jadi Lina khawatir gitu!" Tanya Aya.
"Sebaiknya kalian bergegas pergi. Sudah buat janji dengan orangkan. Kasian jika buat dia nunggu." Balas Sanja tidak menjawab pertanyaan yang diajukan.

Aku lalu pergi bersama Aya. Perjalannya cukup jauh. Kami sampai di Kafe. Di sana ada dua pemuda. Kami duduk saling berhadapan. Kedua pemuda memperkenalkan diri tapi entah kenapa aku tidak memperhatikan bahkan kata-kata mereka tidak masuk dalam ingatanku. Aku menjadi pendiam karena memikirkan Sanja.

Saat tengah hari, kami pulang. Aya terlihat senang, sedangkan aku sebaliknya. Di rumah aku menunggu kabar dari Sanja. Tapi HPku hanya dipenuhi notifikasi dari teman-teman.

Malam sudah tiba. Ibu menyuruhku makan. Tapi aku menolaknya dengan alasan tidak nafsu makan. Padahal karena mengkhawatirkan Sanja. Hatiku tidak tergerak melihat ibu sedih. Aku tidak tahu kenapa?

Tiba-tiba HPku berbunyi. SMS dari Sanja, "Aku baik-baik saja." Pesan singkat itu berhasil mengubah suasana hatiku.

Aku menghampiri ibu yang makan sendiri di dapur. Ibu terlihat senang.
"Maaf bu, jika saya buat ibu bersedih." Ucapku merasa bersalah.
"Iya nak, ibu senang kamu bersama ibu di sini." Balas ibu.

Setelah makan aku sempatkan nonton TV sebelum tidur.
Tubuhku gemetar saat melihat berita langsung yang mengatakan telah terjadi ledakan bom oleh teroris yang melukai anggota kepolisian.

Aku segera menelpon Sanja. Tapi sambungan tidak bisa terhubung. Aku berkali-kali mencoba tapi tetap tidak bisa.

Aku berusaha tidur tapi tidak bisa. Hingga tengah malam. Aku terlalu mengkhawatir Sanja. Padahal besok aku sekolah. HPku bahkan sudah mulai lemah terlalu sering kucoba buat telpon Sanja. Bukannya mencoba tidur aku malah cari power bank biar HPku bisa tetap di pakai di kasur.

Tiba-tiba SMS masuk dari Sanja, isinya, "Bila kamu belum tidur, tidurlah." Pesan Sanja berhasil membuatku tersenyum. Aku memilih ces HPku di meja dan melupakan power bank.

Aku tertidur. Aku bangun, dibangunin oleh ibuku. Meski ngantuk aku berusaha bangkit. Setelah mandi pikiranku segar kembali. Aku baru ingat, malam tadi aku tidak mendengar suara Sanja cuma pesan teks nya saja. Rasa khawatirku muncul lagi. Segera aku ambil HPku. Mencari nomor Sanja, ketemu. Saat aku ingin tekan tombol panggil, tiba-tiba HPku menghilang dari tanganku.

(Bersambung)

Posting Komentar