Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Mengetahui Tanpa Melihat (Part 26)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Mengetahui Tanpa Melihat (Part 26)
Suara-suara aneh di dalam rumah ini membuat kami takut kecuali Sanja yang terlihat kesal. Keanehan tidak bisa lepas dari dia.
"Aku akan periksa suara di dapur, Lina dan Sintia periksa suara di kamar." Perintah Sanja.
"Tidak mau ah, takut." Ucap Sintia.
"Kalau begitu aku yang periksa kamarmu." Balas Sanja.
"Jangan!" Potong Sintia.
"Katamu tidak mau, Sanja mau bantu, jangan. Kamu kenapa sih?" Tanyaku kesal.
"Masa kamar cewe di masukin sama cowo sih." Sambung Sintia.
"Ya udah kalau gitu aku temenin." Balasku.
Sintia terlihat ragu dan cemas.
"Santai saja. Kalau ada Sanja kita akan aman." Ucapku menenangkan. Tapi Sintia tetap saja cemas.

Sanja pergi ke dapur, sedangkan aku dan Sintia menuju kamar. Aku yang masuk duluan.
"Aku tidak menemukan siapa-siapa!" Ucapku.
Sintia merangsek masuk, hinggaku terdorong dan hampir jatuh. Dia mengambil sebuah gambar di dinding lalu menyembunyikannya.
"Gambar apa itu?" Tanyaku mendekatinya.
"Gak penting." Ucap Sintia.
Semakin buat aku penasaran dan berusaha merebutnya. Terjadi pergulatan hebat antara aku dan Sintia. Hingga akhirnya aku yang memenangkannya. Meskipun sobek aku masih mengenali wajah di foto.
"Kenapa foto Sanja di sini? Kamu diam-diam ngambil fotonya ya? Dari awal kamu acuh tapi kenapa sekarang suka dengannya?" Buatku seketika mencecar dia dengan banyak pertanyaan.
Sintia terlihat takut dan hanya diam.

Bunyi ketukan pintu kamar berbunyi.
"Lina, Sintia, kalian tidak apa-apa?" Ucap Sanja.
"Kami berdua baik saja." Balas Sintia.
"Boleh aku masuk?" Tanya Sanja terdengar panik.
"Aah..." Jeritan Sintia tiba-tiba terdengar.
Aku terdiam dan kaku melihat darah di kepala Sintia yang keluar.
Sanja seketika masuk mendengar jeritan itu.
"Bukan aku?" Jawabku melihat Sintia pingsan. Karena saat itu pandanganku teralih ke belakang arah pintu, tidak tahu apa yang terjadi dengan Sintia. Aku takut disalahkan.
"Dia kejatuhan mainan adiknya di atas lemari. Kita harus cepat bawa dia ke rumah sakit. Kamu cari kunci mobil. Biar aku yang bawa Sintia." Ucap Sanja.
Aku segera melihat di sekitar tubuh Sintia. Benar ada mobil-mobilan besar tergeletak di samping Sintia dengan darah di bagian depannya. Sangat aneh jika Sanja langsung tahu apa yang terjadi padahal dia tidak melihat. Kupikir dia akan langsung menuduhku.

Sanja berdiri dengan tubuh Sintia di kedua tangannya.
"Kenapa diam? Jika kamu merasa aneh. Saat aku tiba. Aku melihat mobil-mobilan itu dengan darah. Kemudian ada mainan lain, robot-robotan di atas lemari Sintia. Jadi aku menyimpulkan begitu." Jelas Sanja.
"Aku akan cari kuncinya." Ucapku langsung dan segera bergerak, sekaligus memberi jalan untuk Sanja.

Setelah aku mengunci rumah. Kami segera naik mobil Sintia. Aku menjaga Sintia di belakang sedangkan Sanja mengemudi mobil. Baru jalan sebentar, belum sempat keluar pagar, mobil tiba-tiba berhenti mendadak.
"Kamu gak bisa menyetir mobil, Sanja?'" Tanyaku langsung.
"Rem mobilnya tiba-tiba blong." Jawab Sanja.
Aku melihat Sanja memegang rem tangan mobil. Lalu keluar mobil. Membuka pintu belakang dan mengambil tubuh Sintia.
"Kamu ngapain? Tidak mungkinkan kita bawa Sintia cuma jalan kaki." Tanyaku.
"Kita pakai mobilku di luar pagar." Jawab Sanja.

Aku mengunci pagar rumah. Terlihat Sanja sudah memasukkan Sintia di pintu belakang mobilnya. Mobil Sanja terlihat baru, aku bahkan tidak tahu Sanja punya mobil. Aku terlalu tergesa-gesa masuk saat itu. Jadi tidak menyadari ada mobil terpakir di depan rumah.
"Nanti akan ku ceritakan tentang mobil ini." Ucap Sanja melihatku heran.
Aku lalu duduk di belakang menemani Sintia. Terlihat ada kain yang mengikat kepala Sintia, untuk menghambat darah yang keluar. Pasti Sanja yang melakukannya.

Saat dalam perjalanan. Kami melihat Aya bersama anak kecil berjalan berlawanan dari arah kami. Belum sempat aku mengucapkan berhenti, Sanja sudah menghentikan mobilnya duluan. Aku segera turun menghampiri Aya.
"Di mana kamu temukan adiknya Sintia?" Tanyaku.
"Dia, adiknya Sintia?" Tanya balik Aya, membuatku tambah heran, kok bisa Aya tiba-tiba tidak ingat dengan adiknya Sintia.
"Jelasinnya nanti saja. Ayo masuk. Sintia terus mengeluarkan darah tidak akan bisa menunggu." Ucap Sanja.

Tidak seperti mobil Hita, meskipun terlihat mahal tapi tidak bisa memuat banyak orang. Sedangkan mobil Sanja sederhana tapi dapat memuat banyak orang. Aya dan Sanja di kursi depan. Aku dan Sintia yang terbaring di pangkuanku duduk di kursi tengah. Sedangkan adik Sintia duduk di kursi belakang.

Baru beberapa saat jalan, Sanja kembali menghentikan mobilnya.
Aku melihat tidak ada orang disekitar berarti bukan berhenti untuk menghampiri seseorang, "Ada apa Sanja? Mobilmu remnya blong juga!"
"Mereka tidak bisa menyabotase mobil ini." Balas Sanja.
Mereka? Apa yang disebut Sanja itu hantu. Pikirku. Tapi itu bukan pertanyaan yang tepat untuk saat ini.
"Kenapa kamu berhenti?" Tanyaku.
"Kita sudah melewati jalan ini, kita kembali melewatinya. Seperti susah move on saja." Balas Sanja.
''Maksudmu kita mengelilingi tempat ini." Tanyaku.
"Dari tadi Sanja cuma jalan lurus. Tidak belok." Sambung Aya.
"Ada yang coba main-main dengan kita." Ucap Sanja mulai aneh. Kata-katanya sudah mulai sulit dimengerti akal sehat.
"Kak, cepat jalan. Kasihan kak Sintia." Sambung adik Sintia.
"Beri waktu sedikit untuk kak Sanja ya dik." Bujukku.

Tidak beberapa lama Sanja kembali menjalankan mobilnya. Kami lalu berhenti di rumah sakit yang terkenal angker tapi masih beroperasi.
"Tidak ada rumah sakit lain seperti rumah sakit tempat Aya dulu di rawat!" Tanyaku cemas.

(Bersambung)

Posting Komentar