Cerpen Indonesia

Kumpulan Cerita Pendek dan Bersambung Yang Menarik Berbahasa Indonesia

Iklan Atas Artikel

Penampakan Rumah Yang Berbeda (Part 34)

Author
Published Minggu, Juli 01, 2018
Penampakan Rumah Yang Berbeda (Part 34)
Sanja terlihat termenung. Apa dia sedang mengalihkan kesedihannya karena tidak mendapatkan perhatian dari ayahnya.
"Aku memberikan perhatian lebih kepada burung ini. Mereka menjadi jinak dan mengenalku." Ucap Sanja.
"Boleh aku pegang!" Ucapku ingat di kebun binatang biasanya burung jinak juga bisa dipegang orang lain.

Tapi itu tidak berlaku dengan peliharaan Sanja. Mereka langsung terbang ke langit. Sanja terlihat kesal.
"Gak usah dimarahi mereka. Kasian!" Ucapku.
Sanja tersenyum, "Kamu mengganggapku bisa bicara dengan kedua burung itu!"
"Apa sih yang gak bisa buat kamu." Balasku.

Terlihat Sanja kembali mengalihkan topik, "Kamu tidak malu punya pacar rumahnya kayak gubuk gini."
"Aku sudah tahu asetmu?"
Sanja menepuk jidatnya. Dia panik atau gugup, jadi bicara basi kayak gitu seperti di sinetron-sinetron.
"Aku mau lihat isi rumahmu, boleh gak?" Tanyaku curiga rumah Sanja menyimpan rahasia yang bisa menjelaskan keanehannya.
"Silahkan." Balas Sanja.

Kami masuk lewat pintu depan. Terlihat rumahnya tampak tua dengan susunan kayu agak keropos. Tapi pintunya mudah di buka, seperti terawat. Di dalamnya tercium wangi, apa ini kayu jati. Kayu tersusun rapi membentuk dinding ruangan ini. Terdapat bangku kayu panjang dengan dudukan empuk dan juga meja kayu di depannya. Membuatku nyaman duduk dan menikmati udara sejuk dan segar. Ku perhatikan tidak ada benda lain, cahaya emas dari lampu di atas seakan tidak membiarkan ada sisi gelap di ruangan ini.

"Tadi itu, kali kedua ayahku mampir semenjak aku mulai menyewa rumah ini." Ucap Sanja membiarkan aku menikmati suasana di sini tapi tidak membiarkan tempat ini sepi seperti kuburan.
"Ini bukan milikmu?" Tanyaku.
"Dulu bukan, awalnya aku cuma menyewa tempat ini. Ayahku tahu tentang itu. Sekarang aku membelinya dan melakukan beberapa perubahan, tapi ayahku tidak tahu akan hal ini. Beliau tidak pernah menanyakan tentangku." Curhat Sanja.
Suasananya bikin Sanja sedih, sebaiknya aku menghiburnya, "Kamu seharusnya senang tidak hidup kekurangan meski tidak mendapat perhatian dari ayahmu."
"Aku juga bertekad akan menghapus kemiskinan di negara ini. Aku selalu berpikir bagaimana caranya dapat menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin. Saat ini aku hanya bisa menciptakan beberapa!" Balas Sanja.
"Itu tugas presiden dan wakil rakyat. Aku mau lihat ruangan lainnya." Ucapku sambil berdiri kembali.
Lucu juga, ayahnya menuntut dia bekerja di tempat orang. Dia malah bikin orang bekerja di tempatnya.

Sanja mengajakku masuk ke ruangan berikutnya. Kali ini pintu di buka dengan cara berbeda, digeser. Dasar Sanja, kelakuannya aneh-aneh saja.

Di ruangan yang baru kumasuki ini benar-benar bikin aku terkejut. Aku menyentuh dinding rumah. Ini beton, sangat halus. Ruangan ini di dominasi warna putih. Entah diterangi lampu atau tidak ruangan ini tidak silau dan tidak juga gelap.
"Ini ruangan keluarga. Kita bisa melihat dunia di sini." Ucap Sanja.
"Maksudmu? Kamu dapat melihat semuanya di sini dan ruangan ini berbanding terbalik dengan luar rumah. Ini terlihat terlalu mewah." Ucapku.
Aku merasakan kakiku terasa sangat nyaman menginjak ruangan ini. Lantainya terasa hangat.
"Di dalam sini ada TV, juga bisa meakses internet." Balas Sanja.
"Tapi sayang, ayahku tidak pernah mau memasuki ruangan ini." Lanjut Sanja, dia mulai lagi mencoba mengakses kesedihannya.
"Aku suka rumah ini. Ayo kita lanjutkan ke ruangan lainnya." Ucapku.
Sanja terlihat tersenyum, mengalihkan duniaku. Tiba-tiba telponku berbunyi, dari Aya. Aku mengangkat telponnya.
"Tolong aku. Ayahku membawaku kabur. Aku pikir ibu yang SMS, jadi ku kasih alamat Yena tempatku berada..." Telpon langsung terputus.
Di ikuti SMS masuk berisikan, alamat rumah yang tidak kuketahui.

"Ada apa Lina?" Tanya Sanja.
Telpon Sanja tiba-tiba berbunyi juga. Sanja menutup telponnya dan membiarkanku bicara. HP Sanja terlihat baru, apa karena HPnya yang lama belum dikembalikan kepolisian.
"Aya di bawa ayahnya. Sepertinya dia dalam bahaya." Ucapku.
Telpon Sanja kembali berbunyi.
"Angkat Sanja!" Perintahku melihat Sanja ragu mengangkatnya.
Sanja mendekatkan HPnya ke telinga. Mendengarkannya cuma sesaat lalu membungkam HPnya dengan tangan kemudian bicara.
"Kepolisian memintaku kembali bertugas, dan melacak keberadaan teroris." Ucap Sanja ke aku.
"Terima saja. Itu demi keselamatan banyak orang." Balasku.
Sanja kembali bicara lewat telponnya.
"Aku terima, kirimkan juga anggota untuk mencari keberadaan temanku." Ucap Sanja. Sepertinya dia juga mengkhawatirkan Aya.

"Kalau begitu kita berpisah untuk bertemu di lain waktu lagi. Biar aku naik Angkot saja." Ucapku.
Aku segera membuka pintu menuju ruang tamu untuk keluar rumah. Aku kembali di buat terkejut.
"Yena!!!" Sapaku heran ada Yena di balik pintu. Bisa-bisanya dia masuk rumah Sanja begitu saja.

(Bersambung)

Posting Komentar