Pengalaman Naik Angkot Tidak Diduga (Part 12)
Kami keluar dari rumah itu lalu ke pinggir jalan. Aku memberikan tanda dengan melambaikan jempol agar mobil angkot berhenti. Tidak beberapa lama sebuah mobil angkot menghampiri.
"Temani aku ya." Bujukku pada Sanja.
"Kamukan bukan anak kecil lagi." Ucapnya.
"Tapikan aku gadis." Balasku. Akhirnya Sanja mau naik angkot.
Di dalam Angkot cuma ada kami berdua. Untung aku sama Sanja, tidak sendiri.
"Supir itu lihat kamu terus lewat kaca. Kayaknya dia naksir kamu." Ucap Sanja pelan.
"Bukan naksir itu mau niat jahat." Balasku.
"Hobi sekali kamu menduga-duga." Lanjut Sanja.
"Ini waspada." Sambungku.
"Mas, mau berhenti di mana?" Ucap supir.
"Jalan pegunungan, dekat tebing." Balas Sanja.
"Aku komplek perumahan tengah kota." Sambungku.
Saat sampai pertigaan si supir mulai bertingkah aneh.
"Tadi tikungan menuju komplek. Kenapa dilewati pak?" Ucapku.
"Antar masnya dulu." Kata si supir.
"Tapikan rumahku lebih dekat dari dia." Balasku, tapi tidak ditanggepin supir.
"Antar dia aja dulu bang."' Ucap Sanja.
"Sudah telanjur." Kata si supir.
Aku menatap Sanja. Seolah memberi tanda untuk melakukan sesuatu. Sepertinya Sanja memahamiku.
Tiba-tiba angkot berhenti mendadak.
"Ada apa bang?" Tanyaku spontan.
"Tadi ada bayangan lewat di depan." Jawab si supir.
"Ok. Kita lanjutkan. Mungkin salah lihat.'" Sambung si supir.
Apa itu Sanja yang lakukan. Tapi bukan waktunya aku selidiki Sanja. Yang pasti jika sudah sampai di rumahnya, pasti Sanja turun karena gak enak sama supirnya udah ngantar. Aku harus memikirkan sesuatu.
"Kamu lagi tugas jadi intel polisi?" Ucapku dengan nada jelas.
"Kamu nyuruh aku berbohong?" Bisik Sanja.
"Bohong demi kebaikan, tak apa." Bisikku balik.
"Aku gak bisa berbohong." Balasnya pelan.
"Itu kenapa kamu selalu diam saat aku tanya?" Ucapku.
"Jadi dugaanku benar?" lanjutku.
"Bang putar balik ke kantor polisi, dekat dengan komplek perumahan." Ucap Sanja tiba-tiba.
"Ba baik." Ucap supir gugup, lalu memutar balik angkotnya.
Perjalanan masih lama. Aku manfaat kesempatan ini untuk bicara.
"Kamu bisa berhenti melakukan hal berbahaya itu." Pintaku karena takut kehilangannya..
"Jika kamu punya kemampuan melawan penjahat, apa kamu hanya diam saja melihat kejahatan di depanmu?" Balasnya.
"Jadi, benar kamu dapat melawan setan!" Lanjutku dengan suara pelan agar supir tidak mendengarnya.
Kami lalu bicara berbisik.
"Tadi itu bahan skripsi." Kata Sanja.
"Bukannya kamu udah lulus." Tanyaku.
"Skripsi orang lain."
"Kenapa?"
"Karena itu usahaku." Jawab Sanja bikin aku kaget.
"Terus, apa yang kamu bilang ke ayahku malam tadi!"
"Aku bilang, usaha penyedian barang dan jasa untuk kampus."
"Tetap caramu itu ilegal. Aku ingin kamu cari usaha lain."
Kami akhirnya sampai di rumahku.
"Itu motorku!" Ucap Sanja menunjuk motornya di dalam pagar.
"Oh iya. Aku lupa. Tadi malamkan kamu datang ke sini."
"Bang, aku di sini saja. Gak jadi ke kantor polisi." Ucap Sanja ke supir. Dengan cepat si supir melajukan angkotnya.
Sanja kaget saat dia berpaling mukaku tepat dihadapannya.
Aku menatap tajam Sanja, "Kamu kaget melihat motormu. Sepertinya kamu baru tahu, itu aneh."
"Aneh apanya?"
"Selama ini kamu selalu tahu. Apa teman hantumu itu tidak memberitahumu lagi. Atau kau kalahkan dia karena telah berubah jadi setan, sebab mempengaruhi Iwan untuk bunuh diri. Hantu itu temanmu. Melihat kamu dipukuli pasti dia akan dendam." Ucapku, mengutarakan dugaanku.
Sanja cuma diam.
"Kenapa diam? Apakah kalau kamu bicara, kamu tidak bisa bohong. Apa itu hal yang kamu korbankan atau syarat agar dapat memiliki kemampuan mengeluarkan rohmu dan mengendalikannya." Ucapku lagi, mengeluarkan semua dugaanku.
Sanja masuk ke dalam pagar dan bersiap mau pergi dengan motornya. Segeraku berdiri di celah pagar yang terbuka.
"Kamu harus jawab. Baru boleh pergi." Ancamku.
"Iya, aku jawab." Balas Sanja.
(Bersambung)
"Temani aku ya." Bujukku pada Sanja.
"Kamukan bukan anak kecil lagi." Ucapnya.
"Tapikan aku gadis." Balasku. Akhirnya Sanja mau naik angkot.
Di dalam Angkot cuma ada kami berdua. Untung aku sama Sanja, tidak sendiri.
"Supir itu lihat kamu terus lewat kaca. Kayaknya dia naksir kamu." Ucap Sanja pelan.
"Bukan naksir itu mau niat jahat." Balasku.
"Hobi sekali kamu menduga-duga." Lanjut Sanja.
"Ini waspada." Sambungku.
"Mas, mau berhenti di mana?" Ucap supir.
"Jalan pegunungan, dekat tebing." Balas Sanja.
"Aku komplek perumahan tengah kota." Sambungku.
Saat sampai pertigaan si supir mulai bertingkah aneh.
"Tadi tikungan menuju komplek. Kenapa dilewati pak?" Ucapku.
"Antar masnya dulu." Kata si supir.
"Tapikan rumahku lebih dekat dari dia." Balasku, tapi tidak ditanggepin supir.
"Antar dia aja dulu bang."' Ucap Sanja.
"Sudah telanjur." Kata si supir.
Aku menatap Sanja. Seolah memberi tanda untuk melakukan sesuatu. Sepertinya Sanja memahamiku.
Tiba-tiba angkot berhenti mendadak.
"Ada apa bang?" Tanyaku spontan.
"Tadi ada bayangan lewat di depan." Jawab si supir.
"Ok. Kita lanjutkan. Mungkin salah lihat.'" Sambung si supir.
Apa itu Sanja yang lakukan. Tapi bukan waktunya aku selidiki Sanja. Yang pasti jika sudah sampai di rumahnya, pasti Sanja turun karena gak enak sama supirnya udah ngantar. Aku harus memikirkan sesuatu.
"Kamu lagi tugas jadi intel polisi?" Ucapku dengan nada jelas.
"Kamu nyuruh aku berbohong?" Bisik Sanja.
"Bohong demi kebaikan, tak apa." Bisikku balik.
"Aku gak bisa berbohong." Balasnya pelan.
"Itu kenapa kamu selalu diam saat aku tanya?" Ucapku.
"Jadi dugaanku benar?" lanjutku.
"Bang putar balik ke kantor polisi, dekat dengan komplek perumahan." Ucap Sanja tiba-tiba.
"Ba baik." Ucap supir gugup, lalu memutar balik angkotnya.
Perjalanan masih lama. Aku manfaat kesempatan ini untuk bicara.
"Kamu bisa berhenti melakukan hal berbahaya itu." Pintaku karena takut kehilangannya..
"Jika kamu punya kemampuan melawan penjahat, apa kamu hanya diam saja melihat kejahatan di depanmu?" Balasnya.
"Jadi, benar kamu dapat melawan setan!" Lanjutku dengan suara pelan agar supir tidak mendengarnya.
Kami lalu bicara berbisik.
"Tadi itu bahan skripsi." Kata Sanja.
"Bukannya kamu udah lulus." Tanyaku.
"Skripsi orang lain."
"Kenapa?"
"Karena itu usahaku." Jawab Sanja bikin aku kaget.
"Terus, apa yang kamu bilang ke ayahku malam tadi!"
"Aku bilang, usaha penyedian barang dan jasa untuk kampus."
"Tetap caramu itu ilegal. Aku ingin kamu cari usaha lain."
Kami akhirnya sampai di rumahku.
"Itu motorku!" Ucap Sanja menunjuk motornya di dalam pagar.
"Oh iya. Aku lupa. Tadi malamkan kamu datang ke sini."
"Bang, aku di sini saja. Gak jadi ke kantor polisi." Ucap Sanja ke supir. Dengan cepat si supir melajukan angkotnya.
Sanja kaget saat dia berpaling mukaku tepat dihadapannya.
Aku menatap tajam Sanja, "Kamu kaget melihat motormu. Sepertinya kamu baru tahu, itu aneh."
"Aneh apanya?"
"Selama ini kamu selalu tahu. Apa teman hantumu itu tidak memberitahumu lagi. Atau kau kalahkan dia karena telah berubah jadi setan, sebab mempengaruhi Iwan untuk bunuh diri. Hantu itu temanmu. Melihat kamu dipukuli pasti dia akan dendam." Ucapku, mengutarakan dugaanku.
Sanja cuma diam.
"Kenapa diam? Apakah kalau kamu bicara, kamu tidak bisa bohong. Apa itu hal yang kamu korbankan atau syarat agar dapat memiliki kemampuan mengeluarkan rohmu dan mengendalikannya." Ucapku lagi, mengeluarkan semua dugaanku.
Sanja masuk ke dalam pagar dan bersiap mau pergi dengan motornya. Segeraku berdiri di celah pagar yang terbuka.
"Kamu harus jawab. Baru boleh pergi." Ancamku.
"Iya, aku jawab." Balas Sanja.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar