Ponsel Dari Orang Yang Telah Tiada (Part 19)
"Hentikan yang kalian lakukan. Ada yang jauh lebih menarik di luar. Ayo lihat!" Sosok itu ternyata seorang siswi. Benar-benar membuatku kaget.
Dilihat dari lambang kelas, sepertinya dia teman Malaika.
Kami bertiga lalu melihat ke luar perpustakaan. Di sana terlihat banyak murid berkumpul dan saling berdesakan. Aku coba menerobos kerumunan mereka dengan rasa penasaran tidak terbendung, "Awas! Awas. Aku ingin lihat."
Setelah berjuang dengan susah payah akhirnya aku bisa melihat. Apa yang mereka tonton.
Aku tercengang melihat pak Wali Kelas dibawa polisi dengan tangan diborgol.
Tidak sadar aku tersenyum dan meneteskan air mata. Hidupku yang tadi terkengkang sekarang terasa lepas.
Malaika tiba-tiba datang dan menarik tanganku menjauh dari kerumunan murid.
"Ada apa?" Tanyaku penasaran.
Malaika cuma diam. Kemudian muncul Polwan.
"Maaf, nama adik. Enli!"
Aku gugup, "Iya kak!"
Polwan itu merangkulku, "Ikut kakak sebentar ya!"
Aku sepertinya tahu apa yang diinginkan Polwan, "Iya kak!"
Kami lalu pergi diam-diam.
Aku memasuki mobil box Polisi. Di sana aku diminta memberikan keterangan dan aku menceritakan semuanya yang telah dilakukan pak Wali Kelas ke aku.
...
Hari itu sekolah dipulangkan lebih cepat. Setelah diperiksa, aku diperbolehkan pulang. Aku minta pulang sendiri, tidak perlu diantar. Takut ibu cemas melihat aku bersama polisi.
Dalam perjalanan pulang aku masih memikirkan kata-kata Polwan yang bilang, telah mendapatkan bukti fisik dari seseorang, berupa rekaman suaraku dengan pak Wali Kelas saat di toilet tadi. Tapi pihak kepolisian merahasiakan identitas orang tersebut.
Jika Malaika yang melakukannya tidak mungkin. Dia jauh dariku dan pak Wali Kelas saat itu.
Telintas dalam benakku, HPku yang rusak. Aku mengeluarkannya dan bergumam,
"HP ini sempat ditelpon Fajer sebelum dibanting. Masih terhubung hingga benar-benar rusak. Apa jangan-jangan Fajer yang merekamnya lewat sambungan telpon..."
"... Malaika juga bilang Fajer ditelpon seseorang sebelum pergi memberikan payung ke aku tanpa ketahuan. Selama ini dia menolongku secara diam-diam. Tapi aku rasa dibalik itu ada yang benar-benar menolongku lebih dari Fajer. Dia yang menelpon Fajer. Tapi siapa yang menelponnya?"
"Aku tahu siapa yang menelponnya..." Suara tiba-tiba terdengar dari belakangku, bikin merinding seketika.
Aku menoleh untuk tahu siapa dia? Meski takut.
...
"Ternyata kamu. Aku pikir teman Fajer yang tidak kasat mata!. Ngapain kamu ikutin aku." Ucapku ketika melihat Malaika.
Dia masih bernapas terengah-engah. Aku menunggunya. Setelah napasnya sudah normal, dia bicara.
"Tadi di perpus aku belum selesai cerita, takut kamu keburu mati dan jadi hantu penasaran gara-gara aku."
Aku kesal. Ku pikir Malaika tidak seperti teman perempuanku yang lain, suka bikin aku marah. Dia malah makin parah, bilang aku mau mati.
Aku teringat pesan kak Enja, jika takut jangan biarkan temanmu pergi. Di depan ada jalan yang ku takuti. Akan lebih baik jika aku jalan bersama Malaika melewatinya.
Aku melupakan amarah, dan bersikap baik, "Kamu bisa cerita sambil kita berjalan. Aku ingin kamu mampir ke rumahku. Ibuku pulang hari ini. Biasanya bikin kue enak. Mungkin kamu suka."
Dia terlihat senang. Kami lalu berjalan bersama, Malaika kembali melanjutkan ucapannya yang pertama tadi.
"Aku tahu yang menelpon Fajer itu. Pasti pemilik HP Fajer."
Ucapannya malah membingungkanku, "Hah?" Ucapku tidak mengerti.
Malaika kembali menjelaskan, " HP yang Fajer miliki sekarang, dulu diberi oleh seseorang gadis yang dia tolong dari percobaan pembunuhan...
...Gadis itu memberikan HPnya ke Fajer lalu bunuh diri dengan berlari menabrakan diri ke mobil yang melaju kencang tiba-tiba sebelum sempat dikejar Fajer...
...Setelah diselidiki polisi, ternyata gadis itu mengidap kanker, dia hampir di bunuh suruhan keluarganya karena menyusahkan selalu menghabiskan biaya untuk pengobatan. Dia pasrah saat ada orang yang ingin menusuknya, tapi Fajer yang kebetulan lewat mencegah. Dia senang masih ada yang mengingingkannya hidup walaupun bukan keluarganya. Jadi dia berikan harta terakhirnya, HP yang selalu menemaninya hidup selama ini untuk Fajer...
...Lalu bunuh diri karena tidak ingin menyusahkan keluarganya."
Aku tercengang sekaligus merinding.
"Jadi yang menelponnya itu..."
Belum sempat aku selesai bicara. Tiba-tiba...
"Aku yang menelponnya!" Suara terdengar di belakang kami.
Seperti dejavu, merinding, aku kembali melakukan hal sama, menoleh ke belakang dengan rasa takut.
(Bersambung)
Dilihat dari lambang kelas, sepertinya dia teman Malaika.
Kami bertiga lalu melihat ke luar perpustakaan. Di sana terlihat banyak murid berkumpul dan saling berdesakan. Aku coba menerobos kerumunan mereka dengan rasa penasaran tidak terbendung, "Awas! Awas. Aku ingin lihat."
Setelah berjuang dengan susah payah akhirnya aku bisa melihat. Apa yang mereka tonton.
Aku tercengang melihat pak Wali Kelas dibawa polisi dengan tangan diborgol.
Tidak sadar aku tersenyum dan meneteskan air mata. Hidupku yang tadi terkengkang sekarang terasa lepas.
Malaika tiba-tiba datang dan menarik tanganku menjauh dari kerumunan murid.
"Ada apa?" Tanyaku penasaran.
Malaika cuma diam. Kemudian muncul Polwan.
"Maaf, nama adik. Enli!"
Aku gugup, "Iya kak!"
Polwan itu merangkulku, "Ikut kakak sebentar ya!"
Aku sepertinya tahu apa yang diinginkan Polwan, "Iya kak!"
Kami lalu pergi diam-diam.
Aku memasuki mobil box Polisi. Di sana aku diminta memberikan keterangan dan aku menceritakan semuanya yang telah dilakukan pak Wali Kelas ke aku.
...
Hari itu sekolah dipulangkan lebih cepat. Setelah diperiksa, aku diperbolehkan pulang. Aku minta pulang sendiri, tidak perlu diantar. Takut ibu cemas melihat aku bersama polisi.
Dalam perjalanan pulang aku masih memikirkan kata-kata Polwan yang bilang, telah mendapatkan bukti fisik dari seseorang, berupa rekaman suaraku dengan pak Wali Kelas saat di toilet tadi. Tapi pihak kepolisian merahasiakan identitas orang tersebut.
Jika Malaika yang melakukannya tidak mungkin. Dia jauh dariku dan pak Wali Kelas saat itu.
Telintas dalam benakku, HPku yang rusak. Aku mengeluarkannya dan bergumam,
"HP ini sempat ditelpon Fajer sebelum dibanting. Masih terhubung hingga benar-benar rusak. Apa jangan-jangan Fajer yang merekamnya lewat sambungan telpon..."
"... Malaika juga bilang Fajer ditelpon seseorang sebelum pergi memberikan payung ke aku tanpa ketahuan. Selama ini dia menolongku secara diam-diam. Tapi aku rasa dibalik itu ada yang benar-benar menolongku lebih dari Fajer. Dia yang menelpon Fajer. Tapi siapa yang menelponnya?"
"Aku tahu siapa yang menelponnya..." Suara tiba-tiba terdengar dari belakangku, bikin merinding seketika.
Aku menoleh untuk tahu siapa dia? Meski takut.
...
"Ternyata kamu. Aku pikir teman Fajer yang tidak kasat mata!. Ngapain kamu ikutin aku." Ucapku ketika melihat Malaika.
Dia masih bernapas terengah-engah. Aku menunggunya. Setelah napasnya sudah normal, dia bicara.
"Tadi di perpus aku belum selesai cerita, takut kamu keburu mati dan jadi hantu penasaran gara-gara aku."
Aku kesal. Ku pikir Malaika tidak seperti teman perempuanku yang lain, suka bikin aku marah. Dia malah makin parah, bilang aku mau mati.
Aku teringat pesan kak Enja, jika takut jangan biarkan temanmu pergi. Di depan ada jalan yang ku takuti. Akan lebih baik jika aku jalan bersama Malaika melewatinya.
Aku melupakan amarah, dan bersikap baik, "Kamu bisa cerita sambil kita berjalan. Aku ingin kamu mampir ke rumahku. Ibuku pulang hari ini. Biasanya bikin kue enak. Mungkin kamu suka."
Dia terlihat senang. Kami lalu berjalan bersama, Malaika kembali melanjutkan ucapannya yang pertama tadi.
"Aku tahu yang menelpon Fajer itu. Pasti pemilik HP Fajer."
Ucapannya malah membingungkanku, "Hah?" Ucapku tidak mengerti.
Malaika kembali menjelaskan, " HP yang Fajer miliki sekarang, dulu diberi oleh seseorang gadis yang dia tolong dari percobaan pembunuhan...
...Gadis itu memberikan HPnya ke Fajer lalu bunuh diri dengan berlari menabrakan diri ke mobil yang melaju kencang tiba-tiba sebelum sempat dikejar Fajer...
...Setelah diselidiki polisi, ternyata gadis itu mengidap kanker, dia hampir di bunuh suruhan keluarganya karena menyusahkan selalu menghabiskan biaya untuk pengobatan. Dia pasrah saat ada orang yang ingin menusuknya, tapi Fajer yang kebetulan lewat mencegah. Dia senang masih ada yang mengingingkannya hidup walaupun bukan keluarganya. Jadi dia berikan harta terakhirnya, HP yang selalu menemaninya hidup selama ini untuk Fajer...
...Lalu bunuh diri karena tidak ingin menyusahkan keluarganya."
Aku tercengang sekaligus merinding.
"Jadi yang menelponnya itu..."
Belum sempat aku selesai bicara. Tiba-tiba...
"Aku yang menelponnya!" Suara terdengar di belakang kami.
Seperti dejavu, merinding, aku kembali melakukan hal sama, menoleh ke belakang dengan rasa takut.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar