Rumah Seram Yang Indah (Part 15)
Saat aku melewati tangga, aku berpapasan dengan seorang gadis. Sambil menangis dia melewatiku dengan cepat tanpa sempat aku bertanya. Melihat itu emosiku memuncak. Aku melanjutkan untuk cepat sampai di atas.
Aku kaget, padahal aku tidak bersuara tapi dia tahu itu aku, bukan bawahannya atau cewek tadi.
Aku langsung memarahinya, "Apa yang kamu lakukan? membuat cewek sampai menangis seperti itu?"
Enja berbalik dan mendekatiku. Entah kenapa justru aku yang takut.
Tiba-tiba suara lonceng terdengar, "Teng...Teng...Teng..."
Kemudian Enja berucap, "Waktu makan siang sudah tiba. Aku akan jelasin setelah kita makan."
Aku mengangguk seakan tidak berani membuat dia marah.
Kami kembali ke lantai satu dan memasuki ruangan panjang yang terdapat meja yang juga panjang di tengahnya dan banyak kursi di sisi kiri dan kanan. Hanya ada satu kursi di antara ke dua sisi yang berada di ujung meja dan kursi itu di duduki Enja. Tampak makanan lengkap sudah tersusun rapi di meja.
Yang membuatku merasa aneh, semua bawahan Enja terlihat tertunduk dan tidak berani menatap Enja. Aku duduk di dekat Enja di samping sisi kiri meja dan di sisi kanan meja tepatnya di depanku duduk, tampak karyawati Enja yang berkeringat takut.
Enja berucap, "Makanlah makanan bergiji ini biar tubuh kalian bisa menghasilkan darah yang sehat." Ucapannya membuatku tercengang.
Semua memakan makanan yang tersedia dan karyawati di depanku makan dalam keadaan menangis. Itu membuatku cemas, dan bertanya-tanya ada apa dengan perusahaan ini.
Setelah selesai makan, Enja menyuruhku untuk mengikutinya, "Ayo Huja, kita ke ruangan kantorku!" Dia berjalanan dengan cepat dan lebih dulu masuk ke ruangannya. Lalu pintu tertutup sendiri.
Saat aku membuka pintu masuk ruangan kantor Enja, aku dibuat terperangah. Tampak puluhan layar di sekeliling ruangan di setiap sisi dinding kecuali dinding di depanku yang semuanya terbuat dari kaca. Aku sadar layar ini menunjukan rekaman CCTV. Pantas aja bawahan Enja bersikap hati-hati karena tahu Enja mengawasi mereka.
Di tengah ruangan terdepat meja dan bangku yang mengarah ke arahku. Enja duduk di kursinya dan menatapku, "Duduklah, kita bisa bicara di sini!"
Aku segera duduk di kursi di depan mejanya, "Banyak hal yang ingin ku tanyakan, kenapa sikap bawahanmu aneh? sebenarnya perusahaan kamu bergerak di bidang apa? dan kenapa cewek tadi menangis setelah menemuimu?"
Enja berdiri dan menuju belakang kursinya lalu menatap kaca yang memperlihatkan pemandangan kumpulan bunga mawar merah dan pepohonan. Sambil membelakangiku dia menjawab, "Perusahaan ini bergerak di bidang penyediaan darah untuk pasien di rumah sakit. Semua bawahanku memiliki golongan darah berbeda-beda dan membuat perusahaan ini memiliki persediaan darah yang lengkap. Mereka bukan bersikap aneh, tapi bersikap menghormatiku. Cewek yang menangis itu adalah salah satu penyedia modal perusahaan ini. Dia tidak terima aku tidak membantunya."
Aku mendekati Enja, dan ingin tahu gadis itu ingin minta tolong apa? dan jawaban pertanyaanku tentang sikap aneh bawahannya masih belum membuatku puas. Tapi saat aku ingin bicara Hpku berbunyi, dari nomor tidak di kenal, "Huja kamu di mana? Teman sekolah sudah lama pulang. Ibu mengkhawatirkanmu..."
Dengan cepat Enja merebut Hpku dan bicara, "Huja ada di kantor saya Tante. Tidak perlu khawatir. Saya akan segera mengantarnya pulang."
Aku takjub, pendengaran Enja sangat sensitif, dapat mendengar suara ibu ditelpon meski aku tidak mengaktifkan pengeras suara.
Enja lalu memberikan Hpku dalam keadaan sudah tidak terhubung lagi. Dia tampak kesal, "Aku kira kamu sudah pamit. Kasihan Ibumu sampai pinjam Hp tetangga hanya ingin mengetahui kabar anaknya."
Aku tertunduk dan merasa bersalah, "Maaf, aku janji tidak akan mengulanginya lagi."
Sambil memegangi tanganku dan membawaku keluar, Enja berucap, "Katakan itu pada Orang tuamu. Bukan aku."
Saat ingin menuju pintu keluar, Enja dipanggil karyawatinya, "Bos, ada yang membutuhkan darah untuk diberikan kepada penderita kanker darah?"
Enja berhenti melangkah keluar dan berbalik menghampiri karyawatinya yang tampak cemas saat di dekati Enja. Sambil mengadah ke atas untuk menatap wajah Enja, dia tersenyum dengan polos dan bicara lagi, "Sepertinya informasi perusahaan ini tentang ada jenis darah yang cocok ke semua golongan dan dapat membunuh sel kanker, telah tersebar. Bos..."
Enja menjawabnya, "Baiklah, aku akan siapkan nanti."
Lalu Enja mendekatiku kembali, ''Ayo aku akan antar kamu pulang."
Segeraku berucap, "Tidak perlu Enja, aku bisa pulang sendiri. Kamu siapkan saja darah itu. Meski aneh tapi di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin dan aku percaya kamu. “
Aku pulang sendiri. Sebelum pulang aku belanja makanan di sebuah restoran, aku ingin bawakan oleh-oleh untuk Orang Tuaku sebagai permintaan maaf. Selama menunggu makanan yang ku pesan selesai di masak. Aku duduk di salah satu kursi di restoran itu yang lumayan ramai oleh pengunjung. Hal mengejutkan tiba-tiba datang. Enja terlihat masuk ke restoran dengan seorang gadis. Aku berusaha tidak buruk sangka dan tetap di tempat dengan sabar untuk melihat mereka berdua sambil menyembunyikan wajahku dengan kertas daftar menu makanan.
Aku memperhatikan Enja yang sedang duduk di meja yang sama dengan seorang gadis yang wajahnya tidak ku kenal. Banyak sekali gadis disekitar Enja, aku harus kuat mental. Terlihat mereka berdua sedang bicara serius. Tiba-tiba Enja beranjak pergi dan gadis itu berteriak, “Ku mohon jangan tinggalkan aku!!!”
Seketika semua pengunjung di restoran itu melihat ke arah mereka berdua.
Tapi Enja tetap melangkahkan kakinya pergi. Dengan cepat gadis itu menarik tangan Enja sambil mengangis, “Jangan tega begitu, Enja…”
Enja berusaha melepasakan tangan si gadis dari pergelangan tangannya. Dengan mudahnya, Enja yang lebih bertenaga dapat melepaskan tangan gadis itu. Enja melanjutkan melangkahkan kakinya untuk ke luar dari restoran sedangkan gadis itu duduk berlutut dan memohon, “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, jika tanpamu…” Ucapnya sambil menutup wajahnya.
Hal itu bukan hanya jadi tontonan pengunjung di sana. Salah satu pengunjung yang merupakan seorang pemuda bertindak dan menghalangi Enja yang ingin keluar, “Kamu cowok macam apa, membiarkan gadis sampai menangis begitu…”
Aku merasa senang Enja tidak menghianatiku tapi aku lebih merasa kasihan dengan gadis tersebut.
Enja yang dihalangi langkah kakinya oleh pemuda yang tidak dia kenal berucap, “Itu bukan urusanmu…”
Pemuda itu tampak kesal dan memegang kasar kerah baju Enja. Itu membuatku khawatir.
Tapi tiba-tiba Enja mendorong pemuda itu hingga tersungkur sambil berucap, “Baiklah, aku akan kembali untuk dia…”
Enja lalu menghampiri gadis itu, memegang pundaknnya dan membantunya berdiri. Gadis itu tersenyum dan mereka berdua lalu pergi bersama keluar dari restoran.
Saat bersamaan seorang pelayang menghampiriku dan mengantarkan makanan yang ku pesan. Segeraku ku pergi dari restoran itu setelah membayar makanan yang ku beli. Saat tiba di pintu keluar aku berhenti sebentar untuk menyapa pemuda yang tadi di dorong Enja, “Kamu tida apa-apa?”
Dia terdiam tapi kemudian menjawab, “Aku baik saja. Makasih udah memperhatikanku.”
Aku lalu pamit ke dia, “Aku pergi ya, lagi buru-buru…”
Saat aku keluar dari restoran tersebut, Enja dan gadis misterius itu sudah tidak ada. Tiba-tiba aku dihampiri pemuda yang ku sapa tadi, “Kamu cewek baik, telah memperhatikanku, tidak seperti pengunjung restoran lain yang hanya diam melihat.”
Aku membalasnya, “Kamu juga cowok baik, telah membantu cewek di restoran tadi.”
Saat aku ingin pergi, pemuda itu memegang tanganku, “Boleh kenalan…”
Aku menatapnya. Dan dia langsung melepasakan tanganku, “Maaf… Namaku Binta.”
Aku tersenyum padanya, “Panggil saja aku Huja!”
Dia mengeluarkan Hpnya, “Boleh aku minta nomor Hpmu, aku ingin mengenalmu lebih jauh.”
Aku terdiam ragu. Dia kemudian berucap kembali, “Aku ingin berteman denganmu.”
Aku membalasnya, “Maaf aku harus pergi.”
Aku lalu melanjutkan pulang ke rumah dan meninggalkannya.
Sampai di rumah, aku gelisah memikirkan hubungan Enja dengan gadis misterius itu. Tiba-tiba Hpku berbunyi. Telpon dari Enja, tanpa basa basi aku langsung bicara, “Apa di hatimu cuma ada aku?”
Enja menjawab, “Tentu,kenapa kamu meragukanku?”
Aku terdiam masih meragukannya tapi kemudian dia bicara, “Apa kamu masih penasaran dengan cewek yang tadi menangis di kantorku…”
Aku tetap diam. Aku tidak tahu harus berucap apa,karena aku lebih penasaran dengan gadis yang bersamanya di restoran tadi tapi aku bingung bagaimana cara memberitahunya. Dia kemudian bicara lagi, “Cewek di kantor tadi bukan satu-satunya cewek di sekitarku. Tapi cuma kamu cewek spesial bagiku.”
Aku tersenyum mendengar ucapannya, tapi sepertinya dia menganggap aku masih marah karena hanya diam. Jadi dia kembali bicara, “Aku ingin mengajakmu ke rumahku yang suatu saat nanti akan menjadi rumah kita. Sebaiknya kita bertemu untuk bicara langsung. Tanyakan apapun yang membuatmu ragu aku akan menjawabnya dengan jujur tanpa bertanya balik.”
Segera ku menjawabnya, “Jemput aku besok.”
Enja kembali bicara yang membuatku tersenyum, “Mendengar suaramu saja sudah membuatku senang. Aku tidak sabar untuk menemuimu nanti besok.”
Keesokan harinya pada siang hari setelahku pulang sekolah Enja menjemputku. Lagi-lagi dia memperlihatkan hal yang membuatku takjub sekaligus bertanya-tanya. Enja datang menggunakan mobil mewah. Bagaimana bisa dia mendapatkan uang dengan cepat.
Di dalam mobil aku bertanya, “Sepertinya kamu cepat sekali mendapatkan uang…”
Enja menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya ke arahku dan memilih tetap fokus ke depan untuk menyetir, ”Aku mendapatkan modal dan suntikan dana dari cewek-cewek yang mendatangiku…”
Jawaban Enja malah membuatku khawatir, “Apa yang kamu berikan kepada para cewek itu hingga mereka rela mengorbankan banyak uang untukmu…”
Enja menghentikan mobilnya kemudian melihat ke arahku, “Akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata saja. Aku akan memperlihatkan sesuatu di rumahku agar kamu dapat mudah mengerti…”
Aku baru sadar di depanku sudah ada sebuah rumah.
Sama seperti kantornya, rumah Enja juga berada di tengah Hutan tapi jauh lebih aneh. Karena bentuknya seperti kubus berwarna putih dan terletak dibukit yang menurun. Membuatnya tampak menyeramkan mesipun indah.
Enja mengajakku masuk dan memperlihatkan isi rumah yang terdapat sebuah perpustakaan dan sebuah kursi hitam dan sofa putih.
Sambil mengambil sebuah buku, Enja bicara, “Di rumah ini tempatku berpikir dan buku-buku ini menyimpan sesuatu yang mengerikan yang menjadi alasan kenapa para cewek mengeluarkan banyak uangnya untukku…”
(Bersambung)
Di lantai atas tidak ada apa-apa. Aku baru sadar gedung ini hanya berlantaikan satu dan di atasnya hanya atap gedung yang berbentuk datar. Terlihat Enja sedang berdiri di sisi gedung. Tanpa berbalik badan dia menyapa, "Hai Huja, ternyata kamu datang juga."
Aku kaget, padahal aku tidak bersuara tapi dia tahu itu aku, bukan bawahannya atau cewek tadi.
Aku langsung memarahinya, "Apa yang kamu lakukan? membuat cewek sampai menangis seperti itu?"
Enja berbalik dan mendekatiku. Entah kenapa justru aku yang takut.
Tiba-tiba suara lonceng terdengar, "Teng...Teng...Teng..."
Kemudian Enja berucap, "Waktu makan siang sudah tiba. Aku akan jelasin setelah kita makan."
Aku mengangguk seakan tidak berani membuat dia marah.
Kami kembali ke lantai satu dan memasuki ruangan panjang yang terdapat meja yang juga panjang di tengahnya dan banyak kursi di sisi kiri dan kanan. Hanya ada satu kursi di antara ke dua sisi yang berada di ujung meja dan kursi itu di duduki Enja. Tampak makanan lengkap sudah tersusun rapi di meja.
Yang membuatku merasa aneh, semua bawahan Enja terlihat tertunduk dan tidak berani menatap Enja. Aku duduk di dekat Enja di samping sisi kiri meja dan di sisi kanan meja tepatnya di depanku duduk, tampak karyawati Enja yang berkeringat takut.
Enja berucap, "Makanlah makanan bergiji ini biar tubuh kalian bisa menghasilkan darah yang sehat." Ucapannya membuatku tercengang.
Semua memakan makanan yang tersedia dan karyawati di depanku makan dalam keadaan menangis. Itu membuatku cemas, dan bertanya-tanya ada apa dengan perusahaan ini.
Setelah selesai makan, Enja menyuruhku untuk mengikutinya, "Ayo Huja, kita ke ruangan kantorku!" Dia berjalanan dengan cepat dan lebih dulu masuk ke ruangannya. Lalu pintu tertutup sendiri.
Saat aku membuka pintu masuk ruangan kantor Enja, aku dibuat terperangah. Tampak puluhan layar di sekeliling ruangan di setiap sisi dinding kecuali dinding di depanku yang semuanya terbuat dari kaca. Aku sadar layar ini menunjukan rekaman CCTV. Pantas aja bawahan Enja bersikap hati-hati karena tahu Enja mengawasi mereka.
Di tengah ruangan terdepat meja dan bangku yang mengarah ke arahku. Enja duduk di kursinya dan menatapku, "Duduklah, kita bisa bicara di sini!"
Aku segera duduk di kursi di depan mejanya, "Banyak hal yang ingin ku tanyakan, kenapa sikap bawahanmu aneh? sebenarnya perusahaan kamu bergerak di bidang apa? dan kenapa cewek tadi menangis setelah menemuimu?"
Enja berdiri dan menuju belakang kursinya lalu menatap kaca yang memperlihatkan pemandangan kumpulan bunga mawar merah dan pepohonan. Sambil membelakangiku dia menjawab, "Perusahaan ini bergerak di bidang penyediaan darah untuk pasien di rumah sakit. Semua bawahanku memiliki golongan darah berbeda-beda dan membuat perusahaan ini memiliki persediaan darah yang lengkap. Mereka bukan bersikap aneh, tapi bersikap menghormatiku. Cewek yang menangis itu adalah salah satu penyedia modal perusahaan ini. Dia tidak terima aku tidak membantunya."
Aku mendekati Enja, dan ingin tahu gadis itu ingin minta tolong apa? dan jawaban pertanyaanku tentang sikap aneh bawahannya masih belum membuatku puas. Tapi saat aku ingin bicara Hpku berbunyi, dari nomor tidak di kenal, "Huja kamu di mana? Teman sekolah sudah lama pulang. Ibu mengkhawatirkanmu..."
Dengan cepat Enja merebut Hpku dan bicara, "Huja ada di kantor saya Tante. Tidak perlu khawatir. Saya akan segera mengantarnya pulang."
Aku takjub, pendengaran Enja sangat sensitif, dapat mendengar suara ibu ditelpon meski aku tidak mengaktifkan pengeras suara.
Enja lalu memberikan Hpku dalam keadaan sudah tidak terhubung lagi. Dia tampak kesal, "Aku kira kamu sudah pamit. Kasihan Ibumu sampai pinjam Hp tetangga hanya ingin mengetahui kabar anaknya."
Aku tertunduk dan merasa bersalah, "Maaf, aku janji tidak akan mengulanginya lagi."
Sambil memegangi tanganku dan membawaku keluar, Enja berucap, "Katakan itu pada Orang tuamu. Bukan aku."
Saat ingin menuju pintu keluar, Enja dipanggil karyawatinya, "Bos, ada yang membutuhkan darah untuk diberikan kepada penderita kanker darah?"
Enja berhenti melangkah keluar dan berbalik menghampiri karyawatinya yang tampak cemas saat di dekati Enja. Sambil mengadah ke atas untuk menatap wajah Enja, dia tersenyum dengan polos dan bicara lagi, "Sepertinya informasi perusahaan ini tentang ada jenis darah yang cocok ke semua golongan dan dapat membunuh sel kanker, telah tersebar. Bos..."
Enja menjawabnya, "Baiklah, aku akan siapkan nanti."
Lalu Enja mendekatiku kembali, ''Ayo aku akan antar kamu pulang."
Segeraku berucap, "Tidak perlu Enja, aku bisa pulang sendiri. Kamu siapkan saja darah itu. Meski aneh tapi di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin dan aku percaya kamu. “
Aku pulang sendiri. Sebelum pulang aku belanja makanan di sebuah restoran, aku ingin bawakan oleh-oleh untuk Orang Tuaku sebagai permintaan maaf. Selama menunggu makanan yang ku pesan selesai di masak. Aku duduk di salah satu kursi di restoran itu yang lumayan ramai oleh pengunjung. Hal mengejutkan tiba-tiba datang. Enja terlihat masuk ke restoran dengan seorang gadis. Aku berusaha tidak buruk sangka dan tetap di tempat dengan sabar untuk melihat mereka berdua sambil menyembunyikan wajahku dengan kertas daftar menu makanan.
Aku memperhatikan Enja yang sedang duduk di meja yang sama dengan seorang gadis yang wajahnya tidak ku kenal. Banyak sekali gadis disekitar Enja, aku harus kuat mental. Terlihat mereka berdua sedang bicara serius. Tiba-tiba Enja beranjak pergi dan gadis itu berteriak, “Ku mohon jangan tinggalkan aku!!!”
Seketika semua pengunjung di restoran itu melihat ke arah mereka berdua.
Tapi Enja tetap melangkahkan kakinya pergi. Dengan cepat gadis itu menarik tangan Enja sambil mengangis, “Jangan tega begitu, Enja…”
Enja berusaha melepasakan tangan si gadis dari pergelangan tangannya. Dengan mudahnya, Enja yang lebih bertenaga dapat melepaskan tangan gadis itu. Enja melanjutkan melangkahkan kakinya untuk ke luar dari restoran sedangkan gadis itu duduk berlutut dan memohon, “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, jika tanpamu…” Ucapnya sambil menutup wajahnya.
Hal itu bukan hanya jadi tontonan pengunjung di sana. Salah satu pengunjung yang merupakan seorang pemuda bertindak dan menghalangi Enja yang ingin keluar, “Kamu cowok macam apa, membiarkan gadis sampai menangis begitu…”
Aku merasa senang Enja tidak menghianatiku tapi aku lebih merasa kasihan dengan gadis tersebut.
Enja yang dihalangi langkah kakinya oleh pemuda yang tidak dia kenal berucap, “Itu bukan urusanmu…”
Pemuda itu tampak kesal dan memegang kasar kerah baju Enja. Itu membuatku khawatir.
Tapi tiba-tiba Enja mendorong pemuda itu hingga tersungkur sambil berucap, “Baiklah, aku akan kembali untuk dia…”
Enja lalu menghampiri gadis itu, memegang pundaknnya dan membantunya berdiri. Gadis itu tersenyum dan mereka berdua lalu pergi bersama keluar dari restoran.
Saat bersamaan seorang pelayang menghampiriku dan mengantarkan makanan yang ku pesan. Segeraku ku pergi dari restoran itu setelah membayar makanan yang ku beli. Saat tiba di pintu keluar aku berhenti sebentar untuk menyapa pemuda yang tadi di dorong Enja, “Kamu tida apa-apa?”
Dia terdiam tapi kemudian menjawab, “Aku baik saja. Makasih udah memperhatikanku.”
Aku lalu pamit ke dia, “Aku pergi ya, lagi buru-buru…”
Saat aku keluar dari restoran tersebut, Enja dan gadis misterius itu sudah tidak ada. Tiba-tiba aku dihampiri pemuda yang ku sapa tadi, “Kamu cewek baik, telah memperhatikanku, tidak seperti pengunjung restoran lain yang hanya diam melihat.”
Aku membalasnya, “Kamu juga cowok baik, telah membantu cewek di restoran tadi.”
Saat aku ingin pergi, pemuda itu memegang tanganku, “Boleh kenalan…”
Aku menatapnya. Dan dia langsung melepasakan tanganku, “Maaf… Namaku Binta.”
Aku tersenyum padanya, “Panggil saja aku Huja!”
Dia mengeluarkan Hpnya, “Boleh aku minta nomor Hpmu, aku ingin mengenalmu lebih jauh.”
Aku terdiam ragu. Dia kemudian berucap kembali, “Aku ingin berteman denganmu.”
Aku membalasnya, “Maaf aku harus pergi.”
Aku lalu melanjutkan pulang ke rumah dan meninggalkannya.
Sampai di rumah, aku gelisah memikirkan hubungan Enja dengan gadis misterius itu. Tiba-tiba Hpku berbunyi. Telpon dari Enja, tanpa basa basi aku langsung bicara, “Apa di hatimu cuma ada aku?”
Enja menjawab, “Tentu,kenapa kamu meragukanku?”
Aku terdiam masih meragukannya tapi kemudian dia bicara, “Apa kamu masih penasaran dengan cewek yang tadi menangis di kantorku…”
Aku tetap diam. Aku tidak tahu harus berucap apa,karena aku lebih penasaran dengan gadis yang bersamanya di restoran tadi tapi aku bingung bagaimana cara memberitahunya. Dia kemudian bicara lagi, “Cewek di kantor tadi bukan satu-satunya cewek di sekitarku. Tapi cuma kamu cewek spesial bagiku.”
Aku tersenyum mendengar ucapannya, tapi sepertinya dia menganggap aku masih marah karena hanya diam. Jadi dia kembali bicara, “Aku ingin mengajakmu ke rumahku yang suatu saat nanti akan menjadi rumah kita. Sebaiknya kita bertemu untuk bicara langsung. Tanyakan apapun yang membuatmu ragu aku akan menjawabnya dengan jujur tanpa bertanya balik.”
Segera ku menjawabnya, “Jemput aku besok.”
Enja kembali bicara yang membuatku tersenyum, “Mendengar suaramu saja sudah membuatku senang. Aku tidak sabar untuk menemuimu nanti besok.”
Keesokan harinya pada siang hari setelahku pulang sekolah Enja menjemputku. Lagi-lagi dia memperlihatkan hal yang membuatku takjub sekaligus bertanya-tanya. Enja datang menggunakan mobil mewah. Bagaimana bisa dia mendapatkan uang dengan cepat.
Di dalam mobil aku bertanya, “Sepertinya kamu cepat sekali mendapatkan uang…”
Enja menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya ke arahku dan memilih tetap fokus ke depan untuk menyetir, ”Aku mendapatkan modal dan suntikan dana dari cewek-cewek yang mendatangiku…”
Jawaban Enja malah membuatku khawatir, “Apa yang kamu berikan kepada para cewek itu hingga mereka rela mengorbankan banyak uang untukmu…”
Enja menghentikan mobilnya kemudian melihat ke arahku, “Akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata saja. Aku akan memperlihatkan sesuatu di rumahku agar kamu dapat mudah mengerti…”
Aku baru sadar di depanku sudah ada sebuah rumah.
Sama seperti kantornya, rumah Enja juga berada di tengah Hutan tapi jauh lebih aneh. Karena bentuknya seperti kubus berwarna putih dan terletak dibukit yang menurun. Membuatnya tampak menyeramkan mesipun indah.
Enja mengajakku masuk dan memperlihatkan isi rumah yang terdapat sebuah perpustakaan dan sebuah kursi hitam dan sofa putih.
Sambil mengambil sebuah buku, Enja bicara, “Di rumah ini tempatku berpikir dan buku-buku ini menyimpan sesuatu yang mengerikan yang menjadi alasan kenapa para cewek mengeluarkan banyak uangnya untukku…”
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar