Sifat Yang Berubah-Ubah (Part 13)
Ucapan Enja membuatku kaget, "Ada darah di dadamu?"
Saat aku lihat. Ternyata benar. Darah yang keluar tidak deras tapi membasahi bajuku.
Enja kembali bicara, "Orang-orang pasti mengira noda merah itu bagian dari motif bajumu."
Yang dikatakan Enja benar. Jangankan orang, aku saja tidak sadar. Ini pasti ulah Tama tadi, sebaiknya Enja tidak perlu tahu.
Tapi Enja malah terus jalan. Tidak menanyakan kenapa aku terluka! Itu membuatku kesal, "Akukan kekasihmu, kenapa kamu tidak memperhatikan aku?"
Enja melihat ke arahku yang ada di sampingnya, "Bukannya tadi aku memperhatikanmu. Terutama bagian dadamu."
Hal itu membuatku malu dan tidak ingin membahasnya lagi.
Saat dalam perjalan pulang ke rumah, kami melihat seorang pemuda sedang bertengkar dengan seorang gadis kemudian pemuda itu mendorong gadis itu hingga jatuh bahkan menendangnya. Itu membuatku marah, "Enja, cepat tolong dia?"
Tapi kali ini Enja cuma diam, tidak seperti saat dia menolong ibu-ibu di mini market yang dipukuli oknum Polisi. Bahkan Enja berucap tidak peduli, "Itu urusan mereka. Aku tidak mau ikut campur dengan hubungan mereka."
Aku yang kesal langsung memukul pundak Enja, "Kamu kejam!"
Tapi tiba-tiba, pemuda yang sedang menendang gadis itu didorong menjauh oleh seseorang. Pemuda jahat itu lalu pergi dan melewatiku. Wajahnya sungguh membuatku emosi tapi aku tidak berani melawannya.
Sedangkan yang menolong gadis itu adalah pemuda lain yang kebetulan lewat sama seperti kami. Aku menyindir Enja, "Kamu lihat itu Enja. Cowok itu jauh lebih baik dari kamu!"
Ucapku tapi saat aku menoleh, Enja sudah tidak ada.
Enja sudah jauh pergi. Cepat sekali dia jalannya. Aku berlari mengejarnya. Saat berhasil sampai di sampingnya, Enja bilang, "Kamu bisa jadi Atlet lari dengan kemampuanmu itu?"
Aku membalasnya, "Aku enggak mau, nanti susah cari bendera Negara sendiri kalau menang buat ngerayainnya jika aku juara dunia!"
Enja tersenyum, "Tapi Negara akan membuat rumahmu jadi Istana dan memberikan pekerjaan untukmu sebagai Pegawai Negeri."
Itu membuatku tersenyum dan berubah pikiran.
Kami sampai di rumahku saat senja. Enja berpamitan dengan kedua Orang Tuaku untuk pindah ke rumah barunya.
Kini rumah kembali sepi. Aku lalu menghibur diri dengan menonton Tv. Aku terkejut melihat berita yang menampilkan wajah pemuda tidak asing. Pemuda yang mendorong dan menendang seorang gadis tadi siang. Dalam berita dikatakan pemuda itu menghilang saat berada di pantai angker. Saat bersamaan suasana tempatku berada menjadi dingin seperti pantai. Padahal aku berada di dalam rumah.
(Bersambung)
Saat aku lihat. Ternyata benar. Darah yang keluar tidak deras tapi membasahi bajuku.
Enja kembali bicara, "Orang-orang pasti mengira noda merah itu bagian dari motif bajumu."
Yang dikatakan Enja benar. Jangankan orang, aku saja tidak sadar. Ini pasti ulah Tama tadi, sebaiknya Enja tidak perlu tahu.
Tapi Enja malah terus jalan. Tidak menanyakan kenapa aku terluka! Itu membuatku kesal, "Akukan kekasihmu, kenapa kamu tidak memperhatikan aku?"
Enja melihat ke arahku yang ada di sampingnya, "Bukannya tadi aku memperhatikanmu. Terutama bagian dadamu."
Hal itu membuatku malu dan tidak ingin membahasnya lagi.
Saat dalam perjalan pulang ke rumah, kami melihat seorang pemuda sedang bertengkar dengan seorang gadis kemudian pemuda itu mendorong gadis itu hingga jatuh bahkan menendangnya. Itu membuatku marah, "Enja, cepat tolong dia?"
Tapi kali ini Enja cuma diam, tidak seperti saat dia menolong ibu-ibu di mini market yang dipukuli oknum Polisi. Bahkan Enja berucap tidak peduli, "Itu urusan mereka. Aku tidak mau ikut campur dengan hubungan mereka."
Aku yang kesal langsung memukul pundak Enja, "Kamu kejam!"
Tapi tiba-tiba, pemuda yang sedang menendang gadis itu didorong menjauh oleh seseorang. Pemuda jahat itu lalu pergi dan melewatiku. Wajahnya sungguh membuatku emosi tapi aku tidak berani melawannya.
Sedangkan yang menolong gadis itu adalah pemuda lain yang kebetulan lewat sama seperti kami. Aku menyindir Enja, "Kamu lihat itu Enja. Cowok itu jauh lebih baik dari kamu!"
Ucapku tapi saat aku menoleh, Enja sudah tidak ada.
Enja sudah jauh pergi. Cepat sekali dia jalannya. Aku berlari mengejarnya. Saat berhasil sampai di sampingnya, Enja bilang, "Kamu bisa jadi Atlet lari dengan kemampuanmu itu?"
Aku membalasnya, "Aku enggak mau, nanti susah cari bendera Negara sendiri kalau menang buat ngerayainnya jika aku juara dunia!"
Enja tersenyum, "Tapi Negara akan membuat rumahmu jadi Istana dan memberikan pekerjaan untukmu sebagai Pegawai Negeri."
Itu membuatku tersenyum dan berubah pikiran.
Kami sampai di rumahku saat senja. Enja berpamitan dengan kedua Orang Tuaku untuk pindah ke rumah barunya.
Kini rumah kembali sepi. Aku lalu menghibur diri dengan menonton Tv. Aku terkejut melihat berita yang menampilkan wajah pemuda tidak asing. Pemuda yang mendorong dan menendang seorang gadis tadi siang. Dalam berita dikatakan pemuda itu menghilang saat berada di pantai angker. Saat bersamaan suasana tempatku berada menjadi dingin seperti pantai. Padahal aku berada di dalam rumah.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar