Sosok Siswa Terakhir (Part 5)
Belum sempat aku menurunkan kedua tanganku. Di belakang terdengar suara.
"Maaf pak, saya masuk begitu saja. Ada hal penting yang ingin saya katakan!"
Sepertinya, aku mengenal suara itu.
"Buna, bagaimana kamu masuk? Bukannya pintu terkunci!" Perkataan Wali Kelas bikin aku terkejut.
"Bapak ngunci'in aku? Buat apa!" Tanyaku emosi dan ketakutan.
"Justru itu pak, kunci pintu ruangan bapak rusak. Saya di sini mau memperbaikinya." Ucap Buna menjawab pertanyaan Pak Wali Kelas dan bersikap cuek padaku.
Aku bergegas pergi dari ruangan itu.
"En, kamu tidak mau tahu alasan Pak Satpam membuat kelasmu berantakan." Teriak Pak Wali Kelas.
"Tidak Pak, ku mohon, biarkan aku pergi." Balasku dengan perasaan terguncang.
Di belakang sekolah, tempat yang sepi, di mana para murid takut ke sana. Aku justru ke sana untuk duduk menyendiri. Badanku gemetar tidak bisa ku hentikan. Aku takut hingga membuatku terus menangis. Mengingat perlakuan Wali Kelas terhadapku.
"Enli, Pak Wali Kelas tidak akan melakukannya lagi. Aku jamin itu." Terdengar suara Buna.
Sambil menutup mukaku dengan tangan, aku teriak, "Pergilah. Aku ingin sendiri. Aku tidak perlu dihibur dengan kata-kata harapanmu itu."
"Ini bukan sekedar harapan. Aku bilang kepada Pak Wali Kelas, aku tidak segan mengatakan apa yang kusaksikan ke Kepala Sekolah. Hal itu membuatnya takut dan berjanji tidak berniat jahat lagi ke kamu." Ucapannya menghentikan tangisanku.
Tapi saat aku berhenti menutup wajahku dan mencoba melihat ke arah asal suara. Buna tidak ada. Aku kaget. Apa tadi benar-benar Buna, atau sosok yang lain.
Aku cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang dikenal angker tersebut. Saat aku berjalan, tanpa ku sadari pakaian seragamku sudah kering, jadi aku langsung ke kelas.
Di dalam kelas, aku diperbolehkan masuk meski terlambat mengikuti pembelajaran. Ini salah satu hak istimewa jabatan Ketua Kelas yang sedang ku sandang.
Setelah waktu istirahat tiba. Aku bergegas menghentikan Buna keluar kelas.
"Buna, tunggu..." Teriakku.
"Cie..." Goda teman-teman sekelas, buat Buna yang tadi berhenti justru bergegas meninggalkan kelas dengan cepat.
"Apa'an sih. Jangan godain Buna. Dia jadi grogi gitukan." Ucapku juga gugup.
Saat Buna makan di kantin. Aku duduk di depannya karena kebetulan dia cuma sendiri. Buna bersiap mengangkat makanannya dan ingin pindah tempat duduk. Dengan cepat aku memegang tangannya. Tidak ku sangka, genggemannya terlepas dari piring yang dia bawa dan jatuh ke lantai hingga pecah.
Aku segera membantu Buna yang lagi mengambil pecahan kaca. Saat aku mencoba memungut pecahan itu. Tangan kami bersentuhan. Tiba-tiba tangan Buna terluka terkena pecahan piring.
"Tanganmu berdarah Buna, sini aku obati." Ucapku cemas.
Ketika aku ingin memegang tangannya yang terluka. Justru Buna menjauhkan tangannya. Dia mengikat sendiri tangannya yang terluka dengan kain sapu tangan di sakunya.
Aku melihat Buna keringatan di dekatku. Apa dia gugup?
Aku berdiri dan berhenti membantunya.
Teman-teman menatapku tajam. Salah satu siswi memarahiku.
"Gara-gara kamu, Buna jadi celaka. Seharusnya kamu tahu diri."
"Maafkan aku." Ucapku lalu memilih untuk pergi.
Saat jam pelajaran terakhir, aku dipanggil oleh Wali Kelas melalui pengeras suara sekolah. Dengan keadaan gugup aku datang menghadap. Wali Kelas terlihat duduk di meja ruangannya.
"Ada apa pak!" Sapaku cemas.
"Guru pelajaran terakhir tidak hadir. Katakan sama teman-teman tetap diam di dalam kelas jangan keluyuran sampai bel pulang."
Ucap Wali Kelas, tumben tidak menggodaku dan mempersilahkan aku pergi. Jadi, ancaman Buna berfungsi juga.
Aku mengumumkannya di depan teman-teman di kelas.
"Aku punya kabar gembira sekaligus buruk buat kalian. Mau dengar yang mana dulu!"
"Kabar gembira saja Ketua." Teriak salah satu siswa.
"Pelajaran terakhir kosong." Ucapku langsung disambut teriakan histeris semua siswa dan siswi.
"Horeee!" Lalu bergegas membawa tas dan berdiri.
"Kalian mau ke mana? Aku belum sampaikan kabar buruknya!" Tanyaku sambil menghalangi pintu keluar.
"Pulanglah ketua!" Ucap salah satu siswi.
"Justru itu kabar buruknya. Boleh pulang setelah bel pulang berbunyi." Jelasku cepat.
"Masa ketua tega lihat kami mati kebosanan di sini." Entah siapa yang ucap, tapi itu membuatku panik.
"Masa kalian gak kasihan sama aku sih. Kalau ketahuan, aku bakalan dihukum." Ucapku polos.
"Tenang aja ketua, kami akan lewat belakang. Jadi gak bakalan ketahuan." Siapa lagi tuh yang bilang. Semuanya bergerombol ingin keluar dan cuma aku sendiri yang menahan mereka. Akhirnya mereka aku biarkan keluar semua.
Cuma ada aku di dalam kelas. Membuatku takut. Aku duduk di bangku barisan depan. Tiba-tiba ada burung warna putih yang masuk. Aku mencoba mengusirnya keluar. Saat burung itu keluar. Aku dikejutkan dengan sosok siswa yang duduk di pojok belakang ruangan kelas yang tidak ku sadari. Awalnya aku cemas, tapi aku beranikan mendekati siswa berwajah datar itu.
"Kamu siapa?" Tanyaku tidak pernah melihat dan mengenal dia sebelumnya.
(Bersambung)
"Maaf pak, saya masuk begitu saja. Ada hal penting yang ingin saya katakan!"
Sepertinya, aku mengenal suara itu.
"Buna, bagaimana kamu masuk? Bukannya pintu terkunci!" Perkataan Wali Kelas bikin aku terkejut.
"Bapak ngunci'in aku? Buat apa!" Tanyaku emosi dan ketakutan.
"Justru itu pak, kunci pintu ruangan bapak rusak. Saya di sini mau memperbaikinya." Ucap Buna menjawab pertanyaan Pak Wali Kelas dan bersikap cuek padaku.
Aku bergegas pergi dari ruangan itu.
"En, kamu tidak mau tahu alasan Pak Satpam membuat kelasmu berantakan." Teriak Pak Wali Kelas.
"Tidak Pak, ku mohon, biarkan aku pergi." Balasku dengan perasaan terguncang.
Di belakang sekolah, tempat yang sepi, di mana para murid takut ke sana. Aku justru ke sana untuk duduk menyendiri. Badanku gemetar tidak bisa ku hentikan. Aku takut hingga membuatku terus menangis. Mengingat perlakuan Wali Kelas terhadapku.
"Enli, Pak Wali Kelas tidak akan melakukannya lagi. Aku jamin itu." Terdengar suara Buna.
Sambil menutup mukaku dengan tangan, aku teriak, "Pergilah. Aku ingin sendiri. Aku tidak perlu dihibur dengan kata-kata harapanmu itu."
"Ini bukan sekedar harapan. Aku bilang kepada Pak Wali Kelas, aku tidak segan mengatakan apa yang kusaksikan ke Kepala Sekolah. Hal itu membuatnya takut dan berjanji tidak berniat jahat lagi ke kamu." Ucapannya menghentikan tangisanku.
Tapi saat aku berhenti menutup wajahku dan mencoba melihat ke arah asal suara. Buna tidak ada. Aku kaget. Apa tadi benar-benar Buna, atau sosok yang lain.
Aku cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang dikenal angker tersebut. Saat aku berjalan, tanpa ku sadari pakaian seragamku sudah kering, jadi aku langsung ke kelas.
Di dalam kelas, aku diperbolehkan masuk meski terlambat mengikuti pembelajaran. Ini salah satu hak istimewa jabatan Ketua Kelas yang sedang ku sandang.
Setelah waktu istirahat tiba. Aku bergegas menghentikan Buna keluar kelas.
"Buna, tunggu..." Teriakku.
"Cie..." Goda teman-teman sekelas, buat Buna yang tadi berhenti justru bergegas meninggalkan kelas dengan cepat.
"Apa'an sih. Jangan godain Buna. Dia jadi grogi gitukan." Ucapku juga gugup.
Saat Buna makan di kantin. Aku duduk di depannya karena kebetulan dia cuma sendiri. Buna bersiap mengangkat makanannya dan ingin pindah tempat duduk. Dengan cepat aku memegang tangannya. Tidak ku sangka, genggemannya terlepas dari piring yang dia bawa dan jatuh ke lantai hingga pecah.
Aku segera membantu Buna yang lagi mengambil pecahan kaca. Saat aku mencoba memungut pecahan itu. Tangan kami bersentuhan. Tiba-tiba tangan Buna terluka terkena pecahan piring.
"Tanganmu berdarah Buna, sini aku obati." Ucapku cemas.
Ketika aku ingin memegang tangannya yang terluka. Justru Buna menjauhkan tangannya. Dia mengikat sendiri tangannya yang terluka dengan kain sapu tangan di sakunya.
Aku melihat Buna keringatan di dekatku. Apa dia gugup?
Aku berdiri dan berhenti membantunya.
Teman-teman menatapku tajam. Salah satu siswi memarahiku.
"Gara-gara kamu, Buna jadi celaka. Seharusnya kamu tahu diri."
"Maafkan aku." Ucapku lalu memilih untuk pergi.
Saat jam pelajaran terakhir, aku dipanggil oleh Wali Kelas melalui pengeras suara sekolah. Dengan keadaan gugup aku datang menghadap. Wali Kelas terlihat duduk di meja ruangannya.
"Ada apa pak!" Sapaku cemas.
"Guru pelajaran terakhir tidak hadir. Katakan sama teman-teman tetap diam di dalam kelas jangan keluyuran sampai bel pulang."
Ucap Wali Kelas, tumben tidak menggodaku dan mempersilahkan aku pergi. Jadi, ancaman Buna berfungsi juga.
Aku mengumumkannya di depan teman-teman di kelas.
"Aku punya kabar gembira sekaligus buruk buat kalian. Mau dengar yang mana dulu!"
"Kabar gembira saja Ketua." Teriak salah satu siswa.
"Pelajaran terakhir kosong." Ucapku langsung disambut teriakan histeris semua siswa dan siswi.
"Horeee!" Lalu bergegas membawa tas dan berdiri.
"Kalian mau ke mana? Aku belum sampaikan kabar buruknya!" Tanyaku sambil menghalangi pintu keluar.
"Pulanglah ketua!" Ucap salah satu siswi.
"Justru itu kabar buruknya. Boleh pulang setelah bel pulang berbunyi." Jelasku cepat.
"Masa ketua tega lihat kami mati kebosanan di sini." Entah siapa yang ucap, tapi itu membuatku panik.
"Masa kalian gak kasihan sama aku sih. Kalau ketahuan, aku bakalan dihukum." Ucapku polos.
"Tenang aja ketua, kami akan lewat belakang. Jadi gak bakalan ketahuan." Siapa lagi tuh yang bilang. Semuanya bergerombol ingin keluar dan cuma aku sendiri yang menahan mereka. Akhirnya mereka aku biarkan keluar semua.
Cuma ada aku di dalam kelas. Membuatku takut. Aku duduk di bangku barisan depan. Tiba-tiba ada burung warna putih yang masuk. Aku mencoba mengusirnya keluar. Saat burung itu keluar. Aku dikejutkan dengan sosok siswa yang duduk di pojok belakang ruangan kelas yang tidak ku sadari. Awalnya aku cemas, tapi aku beranikan mendekati siswa berwajah datar itu.
"Kamu siapa?" Tanyaku tidak pernah melihat dan mengenal dia sebelumnya.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar