Suara Di Semak-Semak (Part 9)
Mendengar suara berisik di balik semak. Ahaya langsung menuju asal suara. Dia bahkan berlari mengejar sesuatu. Khawatir dia kenapa-kenapa aku menyuruh Buna juga mengikutinya.
"Buna, kamu temani Ahaya..."
"Dari pada temani dia, mending temani kamu." Tolak Buna.
"Jadi, kamu nolak permintaanku." Ucapku sambil mengoda Buna agar dia mau.
"Apa sih yang tidak buat kamu." Jawab Buna seakan melupakan apa yang dia ucapkan sebelumnya.
Sekarang aku cuma berduaan dengan Fajer. Kesempatan ini kugunakan untuk memanfaatkan kemampuan dia.
"Fajer, kamu bisa lakukan sekarang. Tidak perlu malu. Cuma ada kita."
"Aku tidak bisa." Jawaban Fajer membuatku kaget.
"Ayolah! perlihatkan padaku lagi, cari tahu siapa yang meletakan mayat bayi itu."
"Maafkan aku telah berbohong. Temanku yang memperhatikan apa yang kamu lakukan dan memberitahunya ke aku lewat pesan di HPku." Ucapan Fajer benar-benar membuatku emosi.
"Kamu membohongiku untuk mendekatiku. Aku benci kamu." Marahku kemudian meninggalkannya.
Aku menyusul Buna dan Ahaya. Mereka sedang berdebat, ucapan mereka yang keras terdengar meski jarakku jauh.
"Kamu ngikutin aku mau niat jahat ya!" Tuduh Ahaya.
"Aku justru lindungi kamu." Balas Buna.
"Aku tidak butuh bantuan kamu." Balas Ahaya.
"Jika tidak di suruh. Mana mungkin aku mau." Balas Buna tidak mau mengalah.
"Aku tidak pernah nyuruh kamu buat jagain aku!" Balas Ahaya semakin keras kepala.
"Aku yang nyuruh." Ucapku setelah dekat dengan mereka berdua.
"Oh." Ucap Ahaya sambil tersenyum padaku.
"Kemana orang yang kalian kejar?" Tanyaku.
"Ahaya menghalangiku mengejarnya." Balas Buna.
"Buna yang memperlambatku, minta ditungguin segala." Balas Ahaya.
"Maksudku bilang, ' tunggu' itu, pelan-pelan kamu ngejarnya, biar tidak jauh dari pandanganku. Bukan berhenti." Balas Buna.
"Kalian berdua yang salah." Teriakku emosi dan membuat mereka terdiam.
Kami lalu melaporkannya ke polisi. Tidak beberapa lama tempat itu dipenuhi polisi. Kami ditanya sebagai saksi di tempat berbeda.
"Kamu melihat siapa yang menaruh mayat bayi itu?" Tanya polisi padaku.
"Tidak pak. Saya membelakangi mayat bayi itu dan suasana di sana gelap." Jawabku berusaha tidak gugup.
"Kamu tahu seseorang disekitar ini yang hamil?"
"Saya gak melihat seseorang yang hamil pak."
"Ada seseorang yang kamu curigai?"
"Juga tidak ada pak."
"Baiklah. Sudah dulu pertanyaannya. Nanti jika kami membutuhkan keterangan tambahan. Akan kami hubungi lagi."
"Siap pak." Jawabku.
Selesai diperiksa kami dijemput keluarga masing-masing. Aku dijemput ibu yang datang dengan jalan kaki. Buna dijemput ayahnya dengan mobil. Sedangkan Ahaya, aku tidak melihatnya. Aku khawatir dan menghampiri polisi yang sibuk sedang melakukan olah TKP, "Pak, maaf ganggu. Anda lihat teman saya yang cewek?"
"Dia sudah dijemput oleh teman laki-lakinya." Jawab pak Polisi.
Itu membuatku heran. Bukannya dia menyukaiku tapi kok dia bersama laki-laki, "kalau boleh tahu namanya siapa pak?" Tanyaku lagi penasaran.
Tapi polisi itu keburu pergi. Saat aku ingin mendekati polisi itu. Ibu memanggil. Aku lalu pulang dengan ibu.
Saat jalan dengan ibu, aku bertanya, "Kenapa bukan kakak yang jemput. Kan kasihan ibu." Ucapku.
"Kakakmu lagi tidak ada di rumah." Ucap ibu.
"Kakak keluar malam?" Tanyaku kaget.
"Dia tadi ditelpon temannya, minta diantar pulang." Balas Ibu.
"Cewek ya bu, teman kakak." Tebakku.
"Iya." Jawab ibu sambil tersenyum.
"Siapa cewek itu, bu?" Tanyaku penasaran.
"Ibu tidak tahu tapi nanti pasti kakakmu akan memberi tahu."
Di rumah, aku lelah dan langsung tidur. Keesokan harinya. Saat aku bangun, dan memeriksa kakak di kamarnya dengan mengetuk pintu berkali-kali. Tapi kakak tidak membukanya. Sampai ibu menegurku.
"Enli, kak Enja tidak ada di kamarnya. Dia tahu kamu sudah punya teman. Jadi dia pergi ke sekolah duluan. Pagi-pagi sekali karena ada urusan penting katanya." Jelas ibu.
Aku sudah terbiasa diantar kakak pergi dan pulang, jadi saat ke sekolah tidak bersama kakak lagi, membuatku sedih.
Ahaya menjemputku dan kami pergi ke sekolah bersama.
Dalam perjalanan aku bicara dengannya.
"Kamu punya pacar?" Tanyaku.
"Kamu." Ucap Ahaya bikin aku terkejut. Entah itu pertanyaan balik atau yang dia maksud pacarnya, itu aku. Aduh. Kayaknya pertanyaanku salah.
"Maksudku, teman dekat cowok!" Tanyaku lagi.
"Tidak ada, kan yang paling dekat denganku kamu." Jawabnya tidak henti membuatku tercengang.
"Sadar Ahaya, kamu itu cewek dan aku juga cewek." Ucapku emosi.
"Kita sama-sama cewekkan. Berarti kita cocok." Jawabnya membuatku habis akal. Tidak ada gunanya berdebat dengannya. Jadi aku ganti pertanyaan lain, "Kata pak polisi, malam tadi kamu dijemput cowok..." Tanyaku agar mendapat jawaban yang kuinginkan darinya.
"Oh itu, aku cuma minta bantuan sama dia, buat anterin aku pulang." Jawabnya bikin aku terdiam sedikit penasaran dengan cowok tersebut.
"Kamu jangan cemburu ya. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan dia." Ucap Ahaya lagi.
"Justru itu normal kalau kamu punya hubungan spesial dengannya." Ucapku sedikit kesal.
"Dia mau bantu kamu, berarti dia suka sama kamu." Lanjutku mencoba membuat dia jadi cewek normal.
"Aku memang sering minta bantuan sama dia dan dia tidak nolak. Tidak seperti cowok lain kalau memberi bantuan karena ada maunya. Dia sama sekali tidak mengingankan sesuatu dariku. Jikapun dia suka aku, sudah dari awal dia nembak aku. Tapi nyatanya tidak." Balas Ahaya membuatku tersenyum.
"Kamu sukakan tipe cowok kayak gitu. Berarti kamu menyukai dia." Balasku.
"Oh itu sangat aneh. Walaupun dia selalu ada untukku tapi aku tidak mungkin suka sama dia." Balas Ahaya masih ngeyel.
"Justru yang aneh itu kalau kamu suka aku." Jawabku dengan suara tinggi.
Ahaya cemberut dan langsung pergi meninggalkanku.
Aduh, bukan ini yang kuinginkan. Ahaya sepertinya marah padaku. Aku bakalan kehilangan teman . Bagaimana jika ibu tahu, dia pasti kecewa, aku kembali tidak punya teman.
Entah kenapa aku tiba-tiba tersenyum.
"Oh iya, akukan bisa minta diantar lagi sama kak Enja. Kalau Ahaya tidak jadi temanku lagi." Ucapku senang.
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku dari belakang.
"Aduh, Ahaya pergi ke arah depan. Kok di belakangku ada orang sih. "
Aku gemetar, tapi tetap berusaha menoleh ke belakang.
(Bersambung)
"Buna, kamu temani Ahaya..."
"Dari pada temani dia, mending temani kamu." Tolak Buna.
"Jadi, kamu nolak permintaanku." Ucapku sambil mengoda Buna agar dia mau.
"Apa sih yang tidak buat kamu." Jawab Buna seakan melupakan apa yang dia ucapkan sebelumnya.
Sekarang aku cuma berduaan dengan Fajer. Kesempatan ini kugunakan untuk memanfaatkan kemampuan dia.
"Fajer, kamu bisa lakukan sekarang. Tidak perlu malu. Cuma ada kita."
"Aku tidak bisa." Jawaban Fajer membuatku kaget.
"Ayolah! perlihatkan padaku lagi, cari tahu siapa yang meletakan mayat bayi itu."
"Maafkan aku telah berbohong. Temanku yang memperhatikan apa yang kamu lakukan dan memberitahunya ke aku lewat pesan di HPku." Ucapan Fajer benar-benar membuatku emosi.
"Kamu membohongiku untuk mendekatiku. Aku benci kamu." Marahku kemudian meninggalkannya.
Aku menyusul Buna dan Ahaya. Mereka sedang berdebat, ucapan mereka yang keras terdengar meski jarakku jauh.
"Kamu ngikutin aku mau niat jahat ya!" Tuduh Ahaya.
"Aku justru lindungi kamu." Balas Buna.
"Aku tidak butuh bantuan kamu." Balas Ahaya.
"Jika tidak di suruh. Mana mungkin aku mau." Balas Buna tidak mau mengalah.
"Aku tidak pernah nyuruh kamu buat jagain aku!" Balas Ahaya semakin keras kepala.
"Aku yang nyuruh." Ucapku setelah dekat dengan mereka berdua.
"Oh." Ucap Ahaya sambil tersenyum padaku.
"Kemana orang yang kalian kejar?" Tanyaku.
"Ahaya menghalangiku mengejarnya." Balas Buna.
"Buna yang memperlambatku, minta ditungguin segala." Balas Ahaya.
"Maksudku bilang, ' tunggu' itu, pelan-pelan kamu ngejarnya, biar tidak jauh dari pandanganku. Bukan berhenti." Balas Buna.
"Kalian berdua yang salah." Teriakku emosi dan membuat mereka terdiam.
Kami lalu melaporkannya ke polisi. Tidak beberapa lama tempat itu dipenuhi polisi. Kami ditanya sebagai saksi di tempat berbeda.
"Kamu melihat siapa yang menaruh mayat bayi itu?" Tanya polisi padaku.
"Tidak pak. Saya membelakangi mayat bayi itu dan suasana di sana gelap." Jawabku berusaha tidak gugup.
"Kamu tahu seseorang disekitar ini yang hamil?"
"Saya gak melihat seseorang yang hamil pak."
"Ada seseorang yang kamu curigai?"
"Juga tidak ada pak."
"Baiklah. Sudah dulu pertanyaannya. Nanti jika kami membutuhkan keterangan tambahan. Akan kami hubungi lagi."
"Siap pak." Jawabku.
Selesai diperiksa kami dijemput keluarga masing-masing. Aku dijemput ibu yang datang dengan jalan kaki. Buna dijemput ayahnya dengan mobil. Sedangkan Ahaya, aku tidak melihatnya. Aku khawatir dan menghampiri polisi yang sibuk sedang melakukan olah TKP, "Pak, maaf ganggu. Anda lihat teman saya yang cewek?"
"Dia sudah dijemput oleh teman laki-lakinya." Jawab pak Polisi.
Itu membuatku heran. Bukannya dia menyukaiku tapi kok dia bersama laki-laki, "kalau boleh tahu namanya siapa pak?" Tanyaku lagi penasaran.
Tapi polisi itu keburu pergi. Saat aku ingin mendekati polisi itu. Ibu memanggil. Aku lalu pulang dengan ibu.
Saat jalan dengan ibu, aku bertanya, "Kenapa bukan kakak yang jemput. Kan kasihan ibu." Ucapku.
"Kakakmu lagi tidak ada di rumah." Ucap ibu.
"Kakak keluar malam?" Tanyaku kaget.
"Dia tadi ditelpon temannya, minta diantar pulang." Balas Ibu.
"Cewek ya bu, teman kakak." Tebakku.
"Iya." Jawab ibu sambil tersenyum.
"Siapa cewek itu, bu?" Tanyaku penasaran.
"Ibu tidak tahu tapi nanti pasti kakakmu akan memberi tahu."
Di rumah, aku lelah dan langsung tidur. Keesokan harinya. Saat aku bangun, dan memeriksa kakak di kamarnya dengan mengetuk pintu berkali-kali. Tapi kakak tidak membukanya. Sampai ibu menegurku.
"Enli, kak Enja tidak ada di kamarnya. Dia tahu kamu sudah punya teman. Jadi dia pergi ke sekolah duluan. Pagi-pagi sekali karena ada urusan penting katanya." Jelas ibu.
Aku sudah terbiasa diantar kakak pergi dan pulang, jadi saat ke sekolah tidak bersama kakak lagi, membuatku sedih.
Ahaya menjemputku dan kami pergi ke sekolah bersama.
Dalam perjalanan aku bicara dengannya.
"Kamu punya pacar?" Tanyaku.
"Kamu." Ucap Ahaya bikin aku terkejut. Entah itu pertanyaan balik atau yang dia maksud pacarnya, itu aku. Aduh. Kayaknya pertanyaanku salah.
"Maksudku, teman dekat cowok!" Tanyaku lagi.
"Tidak ada, kan yang paling dekat denganku kamu." Jawabnya tidak henti membuatku tercengang.
"Sadar Ahaya, kamu itu cewek dan aku juga cewek." Ucapku emosi.
"Kita sama-sama cewekkan. Berarti kita cocok." Jawabnya membuatku habis akal. Tidak ada gunanya berdebat dengannya. Jadi aku ganti pertanyaan lain, "Kata pak polisi, malam tadi kamu dijemput cowok..." Tanyaku agar mendapat jawaban yang kuinginkan darinya.
"Oh itu, aku cuma minta bantuan sama dia, buat anterin aku pulang." Jawabnya bikin aku terdiam sedikit penasaran dengan cowok tersebut.
"Kamu jangan cemburu ya. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan dia." Ucap Ahaya lagi.
"Justru itu normal kalau kamu punya hubungan spesial dengannya." Ucapku sedikit kesal.
"Dia mau bantu kamu, berarti dia suka sama kamu." Lanjutku mencoba membuat dia jadi cewek normal.
"Aku memang sering minta bantuan sama dia dan dia tidak nolak. Tidak seperti cowok lain kalau memberi bantuan karena ada maunya. Dia sama sekali tidak mengingankan sesuatu dariku. Jikapun dia suka aku, sudah dari awal dia nembak aku. Tapi nyatanya tidak." Balas Ahaya membuatku tersenyum.
"Kamu sukakan tipe cowok kayak gitu. Berarti kamu menyukai dia." Balasku.
"Oh itu sangat aneh. Walaupun dia selalu ada untukku tapi aku tidak mungkin suka sama dia." Balas Ahaya masih ngeyel.
"Justru yang aneh itu kalau kamu suka aku." Jawabku dengan suara tinggi.
Ahaya cemberut dan langsung pergi meninggalkanku.
Aduh, bukan ini yang kuinginkan. Ahaya sepertinya marah padaku. Aku bakalan kehilangan teman . Bagaimana jika ibu tahu, dia pasti kecewa, aku kembali tidak punya teman.
Entah kenapa aku tiba-tiba tersenyum.
"Oh iya, akukan bisa minta diantar lagi sama kak Enja. Kalau Ahaya tidak jadi temanku lagi." Ucapku senang.
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku dari belakang.
"Aduh, Ahaya pergi ke arah depan. Kok di belakangku ada orang sih. "
Aku gemetar, tapi tetap berusaha menoleh ke belakang.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar