Tahu Sebelum Diketahui (Part 14)
Aku melihat ke arah Sanja di depan pagar. Dia menghilang lagi. Apa dia kabur? Tapi kumendengar suara Sanja.
Aku menoleh ke arah asal suara di sebelah kiriku. Benar ada Sanja yang sedang bicara dengan pak Satpam. Aku sudah berpikir Sanja mau menghindari dugaan yang inginku tanyakan.
"Izinkan saya masuk pak. Saya mau bantu!" Ucap Sanja.
"Kamu orang pintar?" Tanya Satpam.
"Bukan." Jawab Sanja singkat.
"Orang asing dilarang masuk." Balas Satpam.
Saat aku ingin membujuk Satpam untuk memperbolehkan Sanja masuk. Karena aku menduga Sanja yang kirim para hantu dan dia juga yang dapat mengatasinya.
Sintia tiba-tiba bicara, "Aya! kamu kenapa?"
Aku langsung menoleh ke arah Aya di belakangku.
"Tidak apa-apa!" Jawab Aya, sambil memegangi kepalanya.
Seketika Aya ambruk.
Suasana pagi itu semakin mencekam saat beberapa murid mencoba keluar dari area sekolah. Aku tidak berpikiran mau bertanya dugaanku pada Sanja saat itu.
Pak Satpam terlihat sibuk menenangkan murid yang ketakutan dan membiarkan Sanja masuk ke dalam untuk menolong Aya.
"Apa dia kerasukan?" Tanyaku.
Gadis kenalan Sanja juga ikut masuk dan menghampiri, "Kalau kerasukan dia akan mengamuk seperti lainnya. Mungkin dia cuma pingsan."
"Yena, panggil ambulan." Perintah Sanja.
Jadi gadis itu namanya Yena.
Saat Yena mencoba menghubungi ambulan, Sintia bicara.
"Pakai mobil aku saja."
Sanja langsung mengangkat Aya. Sintia langsung pergi mengambil mobilnya.
"Kamu coba cari bantuan warga yang bisa mengatasi ini." Perintah Sanja ke Yena. Yena lalu pergi.
Aku, Sanja dan Sintia pergi ke rumah sakit mengantar Aya dan mengabaikan yang terjadi di sekolah.
Di rumah sakit, kami menemani Aya sampai orang tuanya datang. Kata dokter Aya cuma kelelahan. Tidak beberapa lama, Aya sadar. Dia terlihat bingung. Aku dan Sintia dibuat heran saat Aya tiba-tiba memainkan rambut panjangnya sambil tersenyum.
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku ke Aya.
"Iya." Jawabnya dengan penuh rasa senang.
Saat aku melihat Sanja di belakang, Sanja tidak henti-hentinya memandangi Aya.
"Sanja, biasa aja lihat Aya. Aku tahu dia cantik." Ucapku kesal.
"Maaf." Balas Sanja.
"Permisi." Suara dari luar.
Aku segera membuka pintu. Bukannya suster aku justru lihat Yena.
"Silahkan masuk." Ucapku.
"Sanja, kamu pasti tahu sesuatu tentang kerasukan masal di sekolahku tadi?" Tanyaku.
"Apa yang kamu dapatkan?" Bukannya menjawab, Sanja malah tanya ke Yena.
"Tadi aku tanya sama warga yang lama tinggal di sekitar sekolah. Katanya, di tempat berdiri sekolah itu pernah dijadikan kuburan massal." Jawab Yena.
Sintia tiba-tiba menerima telpon. Kami lalu diam. Setelah menutup telpon Sintia bicara.
"Kata ketua kelas mengutip kata orang pintar kita disuruh cari sebuah papan nisan. Yang cuma ada tanggalnya. Kalau tidak ketemu. Sekolah kita tidak aman."
Hal mistis seperti ini Sanja pasti tahu..
"Sanja, ayo kita cari?" Perintahku.
"Tidak perlu cari ke mana-mana." Ucap Sanja.
Aku tahu maksud Sanja. Segera aku geledah isi tas Sintia.
Tidak ada papan nisan itu. Cuma ada alat make up yang lebih banyak dibandingkan alat sekolah.
"Kamu niat belajar, Sintia." Tanyaku.
"Gak. Aku niatnya cuma jadi model." Jawab Sintia kesal sambil memasukan barang-barangnya ke dalam tas kembali.
Aku lalu beralih memeriksa tas Aya. Benar saja, sebuah papan nisan dengan bekas tanah aku temukan.
"Apa yang kamu lakukan, Aya?" Tanyaku marah.
"Aku gak tahu." Balasnya lemah. Sangat berbeda dengan Aya yang biasanya keras kepala.
Siang itu Aya sudah boleh pulang.
Sore harinya. Aku, Sintia dan juga Aya berencana segera mengembalikan papan nisan ke sekolah.
Aku dan Sintia lama menunggu di depan rumah Aya. Tidak biasanya Aya jadi lemot gini. Kedatangannya membuat kami tambah heran lagi. Aya tampil dengan pakaian serba putih dan kelihatan feminim, bukan tomboi kaya dulu.
"Aku minta dibeli'in ayah dan ibu tadi. Baguskan." Sapanya memamerkan pakaiannya.
"Gak salah. Itu warna yang tidak kamu sukakan?" Tanyaku.
Tidak cukup hanya Sanja yang aneh sekarang temanku sendiri juga ikutan aneh.
(Bersambung)
Aku menoleh ke arah asal suara di sebelah kiriku. Benar ada Sanja yang sedang bicara dengan pak Satpam. Aku sudah berpikir Sanja mau menghindari dugaan yang inginku tanyakan.
"Izinkan saya masuk pak. Saya mau bantu!" Ucap Sanja.
"Kamu orang pintar?" Tanya Satpam.
"Bukan." Jawab Sanja singkat.
"Orang asing dilarang masuk." Balas Satpam.
Saat aku ingin membujuk Satpam untuk memperbolehkan Sanja masuk. Karena aku menduga Sanja yang kirim para hantu dan dia juga yang dapat mengatasinya.
Sintia tiba-tiba bicara, "Aya! kamu kenapa?"
Aku langsung menoleh ke arah Aya di belakangku.
"Tidak apa-apa!" Jawab Aya, sambil memegangi kepalanya.
Seketika Aya ambruk.
Suasana pagi itu semakin mencekam saat beberapa murid mencoba keluar dari area sekolah. Aku tidak berpikiran mau bertanya dugaanku pada Sanja saat itu.
Pak Satpam terlihat sibuk menenangkan murid yang ketakutan dan membiarkan Sanja masuk ke dalam untuk menolong Aya.
"Apa dia kerasukan?" Tanyaku.
Gadis kenalan Sanja juga ikut masuk dan menghampiri, "Kalau kerasukan dia akan mengamuk seperti lainnya. Mungkin dia cuma pingsan."
"Yena, panggil ambulan." Perintah Sanja.
Jadi gadis itu namanya Yena.
Saat Yena mencoba menghubungi ambulan, Sintia bicara.
"Pakai mobil aku saja."
Sanja langsung mengangkat Aya. Sintia langsung pergi mengambil mobilnya.
"Kamu coba cari bantuan warga yang bisa mengatasi ini." Perintah Sanja ke Yena. Yena lalu pergi.
Aku, Sanja dan Sintia pergi ke rumah sakit mengantar Aya dan mengabaikan yang terjadi di sekolah.
Di rumah sakit, kami menemani Aya sampai orang tuanya datang. Kata dokter Aya cuma kelelahan. Tidak beberapa lama, Aya sadar. Dia terlihat bingung. Aku dan Sintia dibuat heran saat Aya tiba-tiba memainkan rambut panjangnya sambil tersenyum.
"Kamu baik-baik saja?" Tanyaku ke Aya.
"Iya." Jawabnya dengan penuh rasa senang.
Saat aku melihat Sanja di belakang, Sanja tidak henti-hentinya memandangi Aya.
"Sanja, biasa aja lihat Aya. Aku tahu dia cantik." Ucapku kesal.
"Maaf." Balas Sanja.
"Permisi." Suara dari luar.
Aku segera membuka pintu. Bukannya suster aku justru lihat Yena.
"Silahkan masuk." Ucapku.
"Sanja, kamu pasti tahu sesuatu tentang kerasukan masal di sekolahku tadi?" Tanyaku.
"Apa yang kamu dapatkan?" Bukannya menjawab, Sanja malah tanya ke Yena.
"Tadi aku tanya sama warga yang lama tinggal di sekitar sekolah. Katanya, di tempat berdiri sekolah itu pernah dijadikan kuburan massal." Jawab Yena.
Sintia tiba-tiba menerima telpon. Kami lalu diam. Setelah menutup telpon Sintia bicara.
"Kata ketua kelas mengutip kata orang pintar kita disuruh cari sebuah papan nisan. Yang cuma ada tanggalnya. Kalau tidak ketemu. Sekolah kita tidak aman."
Hal mistis seperti ini Sanja pasti tahu..
"Sanja, ayo kita cari?" Perintahku.
"Tidak perlu cari ke mana-mana." Ucap Sanja.
Aku tahu maksud Sanja. Segera aku geledah isi tas Sintia.
Tidak ada papan nisan itu. Cuma ada alat make up yang lebih banyak dibandingkan alat sekolah.
"Kamu niat belajar, Sintia." Tanyaku.
"Gak. Aku niatnya cuma jadi model." Jawab Sintia kesal sambil memasukan barang-barangnya ke dalam tas kembali.
Aku lalu beralih memeriksa tas Aya. Benar saja, sebuah papan nisan dengan bekas tanah aku temukan.
"Apa yang kamu lakukan, Aya?" Tanyaku marah.
"Aku gak tahu." Balasnya lemah. Sangat berbeda dengan Aya yang biasanya keras kepala.
Siang itu Aya sudah boleh pulang.
Sore harinya. Aku, Sintia dan juga Aya berencana segera mengembalikan papan nisan ke sekolah.
Aku dan Sintia lama menunggu di depan rumah Aya. Tidak biasanya Aya jadi lemot gini. Kedatangannya membuat kami tambah heran lagi. Aya tampil dengan pakaian serba putih dan kelihatan feminim, bukan tomboi kaya dulu.
"Aku minta dibeli'in ayah dan ibu tadi. Baguskan." Sapanya memamerkan pakaiannya.
"Gak salah. Itu warna yang tidak kamu sukakan?" Tanyaku.
Tidak cukup hanya Sanja yang aneh sekarang temanku sendiri juga ikutan aneh.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar