Tempat Penghilang Emosi (Part 16)
Aku mengambil buku yang sedang dipegang Enja. Dengan penuh penasaranku membukanya. Alangkah terkejutku aku melihat isi buku itu terdapat gambar kekerasan di tubuh wanita. Apa ini alasan gadis-gadis itu mau memberikan uangnya ke Enja. Karena takut diancam.
Dengan cemas aku melihat ke arah Enja yang menatapku dingin. Ku berucap dalam hati, 'Celaka aku, berada di rumahnya Psikopat.'
Dia lalu bicara, "Ada yang perlu ditanyakan, Huja?"
Dengan gemetar aku menjawab, "Tidak ada Enja." Lalu dia mendekatiku. Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku dan tidak membuatnya marah. Sebisa mungkin aku tetap tenang.
Saat dia di dekatku. Aku segera mengembalikan bukunya dan berucap, ''Sepertinya udara di luar sangat segar, aku mau merasakannya." Lalu aku menuju pintu dan berusaha membukanya.
Aku menarik pintu sekuat tenaga. Entah kenapa pintu ini tiba-tiba tidak bisa terbuka. Enja kembali mendekat. Membuatku panik. Ketika dia semakin mendekat. Aku mulai pasrah dan menutup mata. Saat tangannya menyentuh tanganku aku hanya bisa diam, seakan terpaksa harus siap menerima siksaan yang akan diberikan Enja nanti.
Tiba-tiba Enja berucap, "Pintu ini dibuka dengan cara digeser bukan ditarik."
Aku tersenyum polos di depannya, ''Aku lupa!"
Di luar rumah aku menghirup udara segar untuk menenangkan diri sekaligus berpikir untuk mencari alasan agar aku bisa pergi dari sini tanpa membuat Enja marah. Dengan cemas aku menghadap Enja sambil memasang muka polos, "Aku baru ingat, ibu menyuruhku jangan lama-lama di luar rumah."
Enja kemudian membalasnya, "Kalau begitu, aku akan antar kamu pulang."
Aku mengangguk seakan tidak berani membantahnya.
Enja mengantarku sampai ke rumah menggunakan mobilnya. Dia lalu pamit pulang. Semenjak kejadian itu. Aku tidak menghubungi atau bertemu Enja lagi. Selama seminggu ini Enja tidak menghubungiku. Mungkin karena banyaknya gadis di sekitar Enja, jadi dia melupakanku. Itu membuatku senang.
Tapi suasana di Sekolah menjadi hampa. Tidak ada lagi sesuatu yang ku tunggu untuk dilakukan setelah pulang Sekolah seperti menemui Enja yang ku suka. Tapi sekarang Enja membuatku takut dengan kemisteriusannya.
Saat aku melamun di kelas. Tiba-tiba Guru masuk dan membuatku terkejut saat berucap, "Sambutlah siswa baru di kelas ini. Namanya Enja."
Aku benar-benar tercengang melihat Enja masuk kelas dengan mengenakan pakaian seragam Sekolahku.
Enja dipersilahkan duduk. Dan dia akan melewatiku. Itu membuat perasaanku campur aduk. Dalam hati aku berucap, 'Jangan sapa aku... jangan sapa aku...' Aku tidak ingin Enja mengingatku kembali.
Enja melewatiku begitu saja dan dia duduk di bangku belakangku. Sepertinya dia sudah melupakanku. Itu membuatku sedikit lega.
Suasana di kelas membuatku tidak nyaman dengan adanya Enja. Saat waktu pulang tiba. Aku memilih pergi belakangan. Ketika semuanya sudah keluar. Aku baru beranjak pergi.
Saat berada di halaman Sekolah, perhatianku tersita oleh kumpulan siswa-siswi yang mengelilingi lapangan Basket. Karena aku penasaran jadi ku ke sana untuk melihatnya, "Awas-awas! Aku ingin lihat!" Ucapku sambil merangsek masuk menerobos kerumunan.
Ketika sampai di depan. Aku terkejut dengan apa yang ku lihat, "Enja!"
Ucapku spontan tapi segeraku menutup mulut. Takut ada yang dengar. Aku tidak ingin ada yang tahu hubunganku dengan Enja.
Terlihat Enja berada di tengah lapangan. Sedangkan dua siswa yang sekelas denganku bernama Padli dan Miki berada di kanan dan kiri Enja. Lalu Padli merebut tas Enja dan berucap, "Karena kamu siswa baru, jadi harus melewati ujian fisik dulu. Ambil tasmu!"
Saat Enja mau mengambil tasnya, Padli melemparkan tas itu ke Miki. Ketika Enja mau mengambil tasnya di tangan Miki, dengan cepat Miki melemparkannya kembali ke Padli. Terus berulang hingga Enja seperti dipermainkan dan semua yang menonton tampak senang hingga bersorak gembira melihat Enja teraniaya.
Mungkin cuma aku yang sedih melihat Enja dikerjain seperti itu.
Setelah Padli dan Miki lelah. Tas Enja di lempar ke ring Basket hingga tersangkut. Mereka lalu pergi dan diikuti siswa dan siswi lainnya yang bubar.
Setelah hanya ada aku dan Enja di sana. Aku menghampiri Enja yang duduk berlutut di tengah lapangan. Segeraku mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasku untuk diberikan kepada Enja yang pakaiannya basah dengan keringat.
Tiba-tiba saat aku ingin memberikan minuman ke Enja, dia malah meloncat sangat tinggi hingga tangannya mencapai ring basket dan bergelatungan di sana. Dengan mudahnya dia mengambil tasnya. Kemudian meloncat turun. Kemampuannya begitu hebat. Aku bingung kenapa dia menyembunyikannya. Tapi aku coba mengabaikannya. Pasti Enja punya alasan. Biar dia nanti yang memberitahunya ke aku.
Enja terlihat memakai tasnya kembali, aku menghampirinya, "Ini minuman untukmu?"
Enja menerima dan meminumnya hingga habis tak tersisa. Sepertinya siksaan tadi amat menguras tenaganya. Dia lalu memberikan botol kosong ke aku sambil berucap, "Terima kasih!"
Kami berdua bersikap dingin seakan tidak pernah kenal akrab.
Aku memberanikan diri menyapanya lebih dulu, "Enja, kenapa kamu memilih Sekolah ini? Di pakiran tidak ada mobilmu. Bukannya jarak rumahmu jauh dari Sekolah?"
Enja menatapku, matanya berkaca, "Ku pikir aku akan kehilanganmu. Aku sengaja memilih sekolah ini karena ku ingin bisa di dekatmu meskipun jika kamu tidak menanggapku nanti."
Tak terasa air mataku menetes mengetahui kesetiaan Enja, "Jadi kamu tidak pernah melupakanku!"
Enja tersenyum, "Tentu aku tidak akan melupakanmu walaupun kamu melupakanku. Aku sudah pindah ke rumah yang dekat dengan Sekolah ini. Jadi kamu tidak perlu khawatir saat aku jalan kaki untuk pulang."
Enja mengajakku ke rumah barunya. Jaraknya memang sangat dekat dengan sekolah tapi dia tetap memilih lokasi yang sama, di antara bukit. Berbentuk persegi panjang dengan kolam renang di bawahnya.
Melihatku yang terdiam kagum, Enja lalu bicara, ''Tempat ini sengaja aku buat untuk menenangkan diri."
Aku setuju dengan ucapannya, "Kamu benar, dengan berendam di kolam ini pasti akan membuat hati tentram."
Enja menawarkan sesuatu ke aku, "Jika kamu mau, kamu bisa berenang di sini. Aku sudah beli pakaian ganti untukmu!"
Aku tersenyum, "Aku tertarik dengan tawaranmu. Tapi mungkin aku cuma melihatnya saja. Air yang tenang dan suasana sejuk di sini sudah membuatku nyaman."
Enja menunjuk ke rumahnya yang terdapat jendela besar, "Rumahku ada di atas bukit dan kolam renang ada di bawah bukit. Kamu bisa leluasa melihatnya dari atas lewat jendela terlebar di rumahku!"
Aku tersenyum, "Ayo antar aku. Sekalian aku ingin memakai pakaian yang ku belikan untukku."
Aku lalu memakai pakaian Gaun berwarna hitam yang dibelikan Enja. Lalu menatap air kolam yang indah dari ketinggian saat senja. Sungguh luar biasa.
Tiba-tiba aku sadar sudah lama di sini, pasti orang tuaku khawatir. Tapi Enja menenangkanku, ''Aku sudah kabari Orang tuamu melalui Telpon tetanggamu. Bahwa kamu ada di sini dan Aku akan mengantarmu pulang."
Enja lalu mengantarku pulang sampai ke rumah. Keesokan paginya aku sekolah dengan hati yang bersemangat. Baru saja aku sampai di Sekolah, aku dikejutkan oleh Enja yang sedang dipukuli Padli. Aku kesal. Saat aku ingin mendekati mereka, Enja memberikan isyarat tangannya dengan mengarahkan telapak tangan ke arahku. Aku tahu maksudnya untuk berhenti. Jadi ku menghentikan langkah kakiku dan cuma menyaksikan yang terjadi.
Padli berteriak ke arah Enja, "Kamukan yang menyebabkan Miki tewas..."
Enja menjawabnya, "Kata Orang Tuanya Padli tewas karena minuman keras. Bukan karena aku." Tapi itu tetap membuat Padli ingin memukul Enja lagi, beruntung Penjaga Sekolah datang dan mencegah serta melerai mereka. Lalu semuanya yang melihat membubarkan diri.
Aku mendekati Enja perlahan. Saat aku di dekat Enja, Enja bicara pelan, "Jika Padli tahu kamu punya hubungan dekat denganku, dia pasti akan mencelakaimu. Teruslah jalan dan jangan hiraukan aku."
Dengan rasa berat aku melewati Enja begitu saja.
Setelah kejadian itu. Selama berada di Sekolah aku tidak mendekati Enja maupun menyapanya. Aku memperhatikan dari jauh, Enja yang hanya duduk sendiri di halaman sekolah saat waktu Istirahat.
Tiba-tiba siswi yang sekelasku bernama Anin menyapaku, "Kenapa kamu melihat Enja terus. Hati-hati nanti kamu jadi korban selanjutnya."
Aku melihat cemas ke arah Anin.
Anin lalu tertawa, "Haha, aku becanda. Cowok culun dan lemah kayak Enja. Tidak mungkin bisa melakukan itu."
Itu membuatku tersenyum.
Saat waktu pulang Sekolah tiba. Aku berencana menunggu Enja di jalan yang akan dilaluinya saat pulang nanti dan di jalan itu tidak ada siswa atau siswi yang akan melewatinya. Jadi kami tidak perlu khawatir. Jadi saat lonceng berbunyi segeraku keluar kelas.
Saat Enja lewat, aku langsung memeluknya, "Aku yakin kamu bukan pembunuh Padli."
Enja melepaskan pelukanku dan berucap, "Sayangnya keyakinanmu salah. Akan aku tunjukan caraku mengalahkan Padli tanpa menyentuhnya."
Ucapan Enja membuatku tercengang.
(Bersambung)
Dengan cemas aku melihat ke arah Enja yang menatapku dingin. Ku berucap dalam hati, 'Celaka aku, berada di rumahnya Psikopat.'
Dia lalu bicara, "Ada yang perlu ditanyakan, Huja?"
Dengan gemetar aku menjawab, "Tidak ada Enja." Lalu dia mendekatiku. Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku dan tidak membuatnya marah. Sebisa mungkin aku tetap tenang.
Saat dia di dekatku. Aku segera mengembalikan bukunya dan berucap, ''Sepertinya udara di luar sangat segar, aku mau merasakannya." Lalu aku menuju pintu dan berusaha membukanya.
Aku menarik pintu sekuat tenaga. Entah kenapa pintu ini tiba-tiba tidak bisa terbuka. Enja kembali mendekat. Membuatku panik. Ketika dia semakin mendekat. Aku mulai pasrah dan menutup mata. Saat tangannya menyentuh tanganku aku hanya bisa diam, seakan terpaksa harus siap menerima siksaan yang akan diberikan Enja nanti.
Tiba-tiba Enja berucap, "Pintu ini dibuka dengan cara digeser bukan ditarik."
Aku tersenyum polos di depannya, ''Aku lupa!"
Di luar rumah aku menghirup udara segar untuk menenangkan diri sekaligus berpikir untuk mencari alasan agar aku bisa pergi dari sini tanpa membuat Enja marah. Dengan cemas aku menghadap Enja sambil memasang muka polos, "Aku baru ingat, ibu menyuruhku jangan lama-lama di luar rumah."
Enja kemudian membalasnya, "Kalau begitu, aku akan antar kamu pulang."
Aku mengangguk seakan tidak berani membantahnya.
Enja mengantarku sampai ke rumah menggunakan mobilnya. Dia lalu pamit pulang. Semenjak kejadian itu. Aku tidak menghubungi atau bertemu Enja lagi. Selama seminggu ini Enja tidak menghubungiku. Mungkin karena banyaknya gadis di sekitar Enja, jadi dia melupakanku. Itu membuatku senang.
Tapi suasana di Sekolah menjadi hampa. Tidak ada lagi sesuatu yang ku tunggu untuk dilakukan setelah pulang Sekolah seperti menemui Enja yang ku suka. Tapi sekarang Enja membuatku takut dengan kemisteriusannya.
Saat aku melamun di kelas. Tiba-tiba Guru masuk dan membuatku terkejut saat berucap, "Sambutlah siswa baru di kelas ini. Namanya Enja."
Aku benar-benar tercengang melihat Enja masuk kelas dengan mengenakan pakaian seragam Sekolahku.
Enja dipersilahkan duduk. Dan dia akan melewatiku. Itu membuat perasaanku campur aduk. Dalam hati aku berucap, 'Jangan sapa aku... jangan sapa aku...' Aku tidak ingin Enja mengingatku kembali.
Enja melewatiku begitu saja dan dia duduk di bangku belakangku. Sepertinya dia sudah melupakanku. Itu membuatku sedikit lega.
Suasana di kelas membuatku tidak nyaman dengan adanya Enja. Saat waktu pulang tiba. Aku memilih pergi belakangan. Ketika semuanya sudah keluar. Aku baru beranjak pergi.
Saat berada di halaman Sekolah, perhatianku tersita oleh kumpulan siswa-siswi yang mengelilingi lapangan Basket. Karena aku penasaran jadi ku ke sana untuk melihatnya, "Awas-awas! Aku ingin lihat!" Ucapku sambil merangsek masuk menerobos kerumunan.
Ketika sampai di depan. Aku terkejut dengan apa yang ku lihat, "Enja!"
Ucapku spontan tapi segeraku menutup mulut. Takut ada yang dengar. Aku tidak ingin ada yang tahu hubunganku dengan Enja.
Terlihat Enja berada di tengah lapangan. Sedangkan dua siswa yang sekelas denganku bernama Padli dan Miki berada di kanan dan kiri Enja. Lalu Padli merebut tas Enja dan berucap, "Karena kamu siswa baru, jadi harus melewati ujian fisik dulu. Ambil tasmu!"
Saat Enja mau mengambil tasnya, Padli melemparkan tas itu ke Miki. Ketika Enja mau mengambil tasnya di tangan Miki, dengan cepat Miki melemparkannya kembali ke Padli. Terus berulang hingga Enja seperti dipermainkan dan semua yang menonton tampak senang hingga bersorak gembira melihat Enja teraniaya.
Mungkin cuma aku yang sedih melihat Enja dikerjain seperti itu.
Setelah Padli dan Miki lelah. Tas Enja di lempar ke ring Basket hingga tersangkut. Mereka lalu pergi dan diikuti siswa dan siswi lainnya yang bubar.
Setelah hanya ada aku dan Enja di sana. Aku menghampiri Enja yang duduk berlutut di tengah lapangan. Segeraku mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasku untuk diberikan kepada Enja yang pakaiannya basah dengan keringat.
Tiba-tiba saat aku ingin memberikan minuman ke Enja, dia malah meloncat sangat tinggi hingga tangannya mencapai ring basket dan bergelatungan di sana. Dengan mudahnya dia mengambil tasnya. Kemudian meloncat turun. Kemampuannya begitu hebat. Aku bingung kenapa dia menyembunyikannya. Tapi aku coba mengabaikannya. Pasti Enja punya alasan. Biar dia nanti yang memberitahunya ke aku.
Enja terlihat memakai tasnya kembali, aku menghampirinya, "Ini minuman untukmu?"
Enja menerima dan meminumnya hingga habis tak tersisa. Sepertinya siksaan tadi amat menguras tenaganya. Dia lalu memberikan botol kosong ke aku sambil berucap, "Terima kasih!"
Kami berdua bersikap dingin seakan tidak pernah kenal akrab.
Aku memberanikan diri menyapanya lebih dulu, "Enja, kenapa kamu memilih Sekolah ini? Di pakiran tidak ada mobilmu. Bukannya jarak rumahmu jauh dari Sekolah?"
Enja menatapku, matanya berkaca, "Ku pikir aku akan kehilanganmu. Aku sengaja memilih sekolah ini karena ku ingin bisa di dekatmu meskipun jika kamu tidak menanggapku nanti."
Tak terasa air mataku menetes mengetahui kesetiaan Enja, "Jadi kamu tidak pernah melupakanku!"
Enja tersenyum, "Tentu aku tidak akan melupakanmu walaupun kamu melupakanku. Aku sudah pindah ke rumah yang dekat dengan Sekolah ini. Jadi kamu tidak perlu khawatir saat aku jalan kaki untuk pulang."
Enja mengajakku ke rumah barunya. Jaraknya memang sangat dekat dengan sekolah tapi dia tetap memilih lokasi yang sama, di antara bukit. Berbentuk persegi panjang dengan kolam renang di bawahnya.
Melihatku yang terdiam kagum, Enja lalu bicara, ''Tempat ini sengaja aku buat untuk menenangkan diri."
Aku setuju dengan ucapannya, "Kamu benar, dengan berendam di kolam ini pasti akan membuat hati tentram."
Enja menawarkan sesuatu ke aku, "Jika kamu mau, kamu bisa berenang di sini. Aku sudah beli pakaian ganti untukmu!"
Aku tersenyum, "Aku tertarik dengan tawaranmu. Tapi mungkin aku cuma melihatnya saja. Air yang tenang dan suasana sejuk di sini sudah membuatku nyaman."
Enja menunjuk ke rumahnya yang terdapat jendela besar, "Rumahku ada di atas bukit dan kolam renang ada di bawah bukit. Kamu bisa leluasa melihatnya dari atas lewat jendela terlebar di rumahku!"
Aku tersenyum, "Ayo antar aku. Sekalian aku ingin memakai pakaian yang ku belikan untukku."
Aku lalu memakai pakaian Gaun berwarna hitam yang dibelikan Enja. Lalu menatap air kolam yang indah dari ketinggian saat senja. Sungguh luar biasa.
Tiba-tiba aku sadar sudah lama di sini, pasti orang tuaku khawatir. Tapi Enja menenangkanku, ''Aku sudah kabari Orang tuamu melalui Telpon tetanggamu. Bahwa kamu ada di sini dan Aku akan mengantarmu pulang."
Enja lalu mengantarku pulang sampai ke rumah. Keesokan paginya aku sekolah dengan hati yang bersemangat. Baru saja aku sampai di Sekolah, aku dikejutkan oleh Enja yang sedang dipukuli Padli. Aku kesal. Saat aku ingin mendekati mereka, Enja memberikan isyarat tangannya dengan mengarahkan telapak tangan ke arahku. Aku tahu maksudnya untuk berhenti. Jadi ku menghentikan langkah kakiku dan cuma menyaksikan yang terjadi.
Padli berteriak ke arah Enja, "Kamukan yang menyebabkan Miki tewas..."
Enja menjawabnya, "Kata Orang Tuanya Padli tewas karena minuman keras. Bukan karena aku." Tapi itu tetap membuat Padli ingin memukul Enja lagi, beruntung Penjaga Sekolah datang dan mencegah serta melerai mereka. Lalu semuanya yang melihat membubarkan diri.
Aku mendekati Enja perlahan. Saat aku di dekat Enja, Enja bicara pelan, "Jika Padli tahu kamu punya hubungan dekat denganku, dia pasti akan mencelakaimu. Teruslah jalan dan jangan hiraukan aku."
Dengan rasa berat aku melewati Enja begitu saja.
Setelah kejadian itu. Selama berada di Sekolah aku tidak mendekati Enja maupun menyapanya. Aku memperhatikan dari jauh, Enja yang hanya duduk sendiri di halaman sekolah saat waktu Istirahat.
Tiba-tiba siswi yang sekelasku bernama Anin menyapaku, "Kenapa kamu melihat Enja terus. Hati-hati nanti kamu jadi korban selanjutnya."
Aku melihat cemas ke arah Anin.
Anin lalu tertawa, "Haha, aku becanda. Cowok culun dan lemah kayak Enja. Tidak mungkin bisa melakukan itu."
Itu membuatku tersenyum.
Saat waktu pulang Sekolah tiba. Aku berencana menunggu Enja di jalan yang akan dilaluinya saat pulang nanti dan di jalan itu tidak ada siswa atau siswi yang akan melewatinya. Jadi kami tidak perlu khawatir. Jadi saat lonceng berbunyi segeraku keluar kelas.
Saat Enja lewat, aku langsung memeluknya, "Aku yakin kamu bukan pembunuh Padli."
Enja melepaskan pelukanku dan berucap, "Sayangnya keyakinanmu salah. Akan aku tunjukan caraku mengalahkan Padli tanpa menyentuhnya."
Ucapan Enja membuatku tercengang.
(Bersambung)
Posting Komentar
Posting Komentar